Wednesday, June 19, 2013

Indonesiae Confidentiam Diversitas : Sebuah Cerita Tentang Kehidupan Beragama di Indonesia


K.H Nuril Arifin Husein, MBA

Praaankk !!! Suara pecahan kaca tak bisa dihindari. Orang yang membawa balok kayu itu mengamuk, menghancurkan bangunan suci yang ada di depannya. Waktu masih menunjukkan dini hari, tapi pergerakan massa sudah mencapai batas moralitas humanis. Manusia menunjukkan diri sebagai makhluk yang beringas, ganas terhadap sesama manusia lainnya.

“Bakaaarr !! Bakaaaar !!! Bakaaar !!!!” Teriak puluhan orang lain. Suasana mencekam. Para Pastor, Biarawan, Biarawati, dan anak-anak panti asuhan Santa Theresia Poso segera berhamburan menyelamatkan diri, berlari ke arah bukit di belakang Gereja.

Kobaran api mulai tampak, begitu juga dengan asap hitam yang mengepul ke langit kota Poso. Situasi tidak terkendali. Massa berpakaian hitam-hitam khas kelompok kristen radikal itu menyusur setiap desa yang dilewatinya. Begitu juga dengan massa kelompok putih yang notabene adalah kelompok islam radikal yang bertempur menghabisi orang-orang Kristen di Poso.

Kejadian serupa pun terulang di berbagai tempat dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh hingga Timika. Gerakan bawah tanah memotori adanya konflik dengan bendera agama, entah itu GAM, OPM, konflik Sampang Madura, konflik Mesuji, dan lain-lain. Masyarakat gelisah. NKRI bergejolak. Ada apa dengan Indonesia?

Kehadiran kelompok – kelompok agama radikal memang menjadi satu dari sekian banyak penyebab retaknya hubungan harmonis dalam masyarakat. Etnosentrisme merajalela. Doktrin-doktrin untuk mengagung- agungkan agama tertentu menjadi masalah klasik yang membidani lahirnya terorisme di Indonesia.

PESANTREN MULTI AGAMA
Rambut ikal dengan sorban di kepala, berjalan seperti musafir mencari oase di padang pasir. Pikirannya jauh ke depan, tidak ada batas. Ia menjadi musuh utama kaum radikalisme pasca wafatnya K.H Abdurrahman Wahud atau Gus Dur. Namanya terkenal ketika memaklumkan diri sebagai panglima pasukan berani mati ketika Gus Dur  tengah digoyang parlemen. Kontroversial.

Dia adalah ketua Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama (Forkhagama), K.H Nuril Arifin Husein, MBA atau yang sering disapa dengan sebutan Gus Nuril. Pemikirannya terhadap toleransi umat beragama selalu menjadi pintu penghalang kaum radikal untuk menjalankan ideologinya. Bersama dengan Gus Dur, ia mendirikan pesantren multiagama, yakni Pesantren Soko Tunggal di Semarang dan Pesantren Taman Hati di Rawamangun, Jakarta.

“Kisah pendirian pesantren bermula ketika Gus Nuril mengalami kanker ganas. Ia menjalani perjalanan spiritual dan ketika Gus Nuril melakukan salat kasful mahjub atau salat untuk membuka hati selama 40 hari, ia mendapat amanat untuk mendirikan pesantren,” ujar Kisno Tantowi, salah seorang pengurus pesantren.

Pada jaman Soeharto, sebuah ide brilian dari Ibu Tin mengejewantah pada didirikannya miniatur fisik Indonesia, yakni Taman Mini Indonesia Indah.  Tetapi, bagi Gus Nuril, pembangunan fisik tidak akan berarti jika tanpa roh atau soul. Fisik tidak akan hidup tanpa adanya roh. Pemerintah lebih mementingkan pembangunan proyek olahraga Hambalang sebesar dua trilyun lebih yang merupakan sekedar pembangunan fisik, tetapi pembangunan rohnya tidak ada.

Lahirnya pesantren multi agama mau mewujudkan pendidikan roh atau pendidikan rohani bagi masyarakat Indonesia, tidak sebatas untuk umat muslim, tapi untuk umat beragama lain. Keberadaan pesantren multi agama berfungsi untuk mengaplikasikan masjid, gereja, vihara, dan tempat ibadah lain yang berada di dalam hati. Selain itu, pesantren ini juga bertujuan untuk menciptakan persatuan di tanah air.

“Konsep yang dibangun adalah pemukiman masyarakat multi agama beserta tempat ibadahnya tanpa adanya pagar yang menjadi penghalang interaksi. Saat ini, manusia tidak mau dipenjara tetapi membangun rumah dengan  pagar yang tingi-tinggi sehingga memenjarakan diri sendiri. Saya ingin kehidupan seperti pada jaman dulu, seperti negara Kuru kata Bung Karno, negeri yang ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo,” ujar Gus Nuril sesaat setelah menyeruput kopi hitamnya.

Dengan satu dua hisapan rokok kretek khas Indonesia, Gus Nuril menceritakan betapa kuat bangsa ini pada jaman kerajaan masa lampau, seperti pada jaman Majapahit. Memang pada masa itu, Nusantara dikenal sebagai sebuah wilayah dengan kerajaan yang kuat. Ketika armada laut Nusantara menjadi yang nomor satu di dunia. 

Majapahit, Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Nusantara telah menancapkan tiang pancang yang disegani dunia dan memakmurkan rakyatnya. Betapa tidak, punggawa paling akhir atau paling rendah memiliki gaji sebesar 15 juta rupiah atau 50 kantang beras pada jaman itu. Menjadi sebuah ironi ketika saat ini tingkat kemiskinan rakyat Indonesia masih berada di atas 15% dari total keseluruhan penduduk Indonesia.

Ukiran-ukiran kayu khas Jawa sangat terlihat di dalam pesantren. Udara ketidakterikatan dari hiruk pikuk dunia luar yang begitu ruwet dan tidak teratur sangat terasa, bebas dari konflik-konflik kepentingan yang menjerumuskan manusia kepada paham homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Kehidupan para santri menjadi nada tersendiri dalam partitur kehidupan masyarakat Indonesia yang mengobarkan egoisme dan individualistik.

Gus Nuril dengan gayanya yang nyentrik, duduk bersila dengan tatapan yang tajam, rokok pada  tangan kanan dan cangkir kopi pada tangan kiri dengan bumbu guyonan logat Jawa yang begitu menghibur. Baginya, pesantren multi agama mau mencetak pemimpin-pemimpin yang mengabarkan islam dalam “I” besar. 

“Ada islam dengan ‘i’ kecil dan ada islam dengan ‘I’ besar. Kalau islam dengan ‘i’ kecil adalah islam yang dibawa risallahnya oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam. Kalau Islam dengan ‘I’ besar adalah islam yang dibawa risallahnya oleh Syadina Adam sampai dengan Syadina Isa. Maka konsepnya Islam itu adalah ketika seseorang menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah, itu disebut taslim. Orang yang taslim itu disebut muslim. Jadi meskipun orang itu beragama Kristen atau apapun, dia disebut muslim dalam skala Islam ‘I’ besar. Kalau ada Pendeta yang ikut belajar di sini ya jadilah pendeta yang mengabarkan keimanan dan menebarkan agama dengan cara yang dewasa,” ujar Gus Nuril.

“ISME" BARU DI DUNIA
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak lepas dari panggung politik dunia. Pertempuran atas nama agama memang menjadi trend mark, antara Islam radikal yang dimotori oleh Osama bin Laden dan Kristen radikal yang berpusat di Amerika Serikat. Perang dan invasi kedua kubu tak terindahkan. Traged 11 september 2001 menjadi gerbang dibukanya perselisihan agama modern, ketika dua pesawat menembus dan meluluhlantahkan menara World Trade Center (WTC) di New York dan lebih dari 3000 jiwa melayang, masyarakat dunia, khususnya umat Kristen semakin mengobarkan bendera perang terhadap umat muslim, begitu juga sebaliknya.

Kecenderungan masyarakat Indonesia yang menelan mentah-mentah berita di media massa secara sadar atau tidak membangun paradigma etnosentrisme yang mendalam. Semangat kepedulian terhadap sesama, khususnya satu agama, menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi ini baik (jika dilandaskan semangat toleransi), di satu sisi ini menjadi senjata ampuh bagi pihak-pihak yang menginginkan adanya perang agama di Indonesia.

Munculnya gagasan toleransi beragama di Indonesia adalah satu dari sekian banyak upaya untuk mewujudkan paham atau ideologi baru di dunia. “Kita dapat memunculkan isme baru yang lebih komprehensif dan lebih lunak sehingga tidak disibukkan dengan pertarungan Kristen dan Islam, kalau islam bernama Islam ala Indonesia, kalau Kristen ya Kristen ala Indonesia,” kata pria kelahiran Gresik, 12 Juli 1958 ini.

Paham itu mau mengajarkan adanya keterbukaan dan mengutamakan nilai-nilai dasari beragama, yakni cinta kasih dan kedamaian. Isme atau ideologi baru inilah yang ingin dimunculkan sebagai pemisah dan pembuka jalan bagi masyarakat dunia untuk tidak hanyut pada suasana konflik Amerika dengan jaringan Al-qaeda atau sejenisnya yang membawa bendera agama sebagai topeng dari konflik kepentingan di antara mereka.

DEWASA DALAM BERAGAMA
Konflik atas nama agama memang menjadi isu yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia. Tingkat keberagaman yang sangat tinggi – dibanding dengan negara lain – dapat menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Ayunan parang, pembakaran rumah ibadah, peledakan bom, hingga pembunuhan massal menjadi cerita di balik konflik dengan bendera agama.

Isu mengenai beberapa kelompok yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam semakin menguat. Meskipun berlandaskan paham Ketuhanan, Indonesia tidak bisa begitu saja menjadi negara agama. Hal tersebut sangat bertentangan dengan konstitusi negara dan Hak Asasi Manusia untuk memilih dan meyakini suatu agama dengan bebas.

Kontroversi mengenai konflik kepentingan mayoritas dan minoritas tidak dapat begitu saja dipukul rata. Segelintir kalangan dengan pemikirannya yang jauh dari kata toleransi tidak bisa digeneralisasikan dengan pemikiran masyarakat yang lain. Keberadaan pesantren multi agama merupakan pendobrak dari paradigma minoritas terhadap kaum mayoritas. Saat ini banyak anggapan yang muncul dari kalangan minoritas yang mengesankan adanya eksklusivitas dari kalangan mayoritas. Orang-orang seperti Gus Nuril dan tokoh-tokoh lain yang mengutamakan toleransi beragama menjadi bukti bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang mengajarkan kebaikan, yang menebarkan toleransi terhadap kaum beragama lain.

Maka dari itu, Indonesia memerlukan filosofi beragama yang dewasa, yang membawa bendera perdamaian, seperti yang terjadi ketika semangat Bung Karno mengenai Pancasila diimplementasikan ketika Sang Proklamator membangun Masjid Istiqlal yang berada di sisi barat Gereja Katedral Jakarta, di mana arsitek yang dipilih adalah dari kalangan Kristen, yakni Frederich Silaban. 

Malam itu berbeda dari malam biasanya. Lampu kerlap-kerlip menerangi pepohonan di halaman Katedral. Hiasan-hiasan bertebaran membangun suasana. Umat Katolik menyambut hari raya Natal, menyambut lahirnya Krstus di dunia. Di luar gedung gereja, para pemuda berpeci itu sibuk mengatur kendaraan yang lalu lalang. Mereka bahu-membahu untuk mengamankan perayaan ekaristi malam Natal. 

Begitu juga pada pagi hari itu. Ribuan orang berbondong-bondong datang ke masjid untuk melakukan salat Idul Fitri. Lalu litas sangat padat. Umat Islam merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menahan nafsu dengan berpuasa. Terlihat para pemuda membantu pihak keamanan melancarkan arus lalu lintas dan membantu parkir para jemaah. Tidak lain tidak bukan mereka adalah para OMK (Orang Muda Katolik) dari Katedral Jakarta. 

Pola kehidupan yang sangat damai itu mau menggambarkan betapa indahnya hidup berdampingan dengan semangat toleransi antar umat beragama. Indonesia tidak memerlukan adanya konflik-konflik atas nama agama karena di mana pun agama selalu mengajarkan cinta kasih. Yang diperlukan bangsa ini adalah gerakan cinta damai dengan toleransi menjadi ujung tombaknya. Yang diperlukan adalah kedewasaan dalam beragama.

“Kedewasaan agama diibaratkan seperti supermarket yang berjualan satu barang tetapi tidak ribut, berderet berjualan sepatu tetapi tidak ribut, berderet berjualan pakaian tetapi tidak ribut. Berikan masyarakat untuk memilih dari variabel-variabel agama yang ada. Maka akan tercipta kedewasaan beragama. Setiap agama tidak memjelekkan agama lain tetapi menunjukkan kemanfaatan beragama. Sebaik-baiknya manusia adalah yang berbuat baik bagi manusia lainnya,” ungkap Gus Nuril yang memiliki pandangan politik pluralisme yang rahmatan lil alamin.

Praaankk !!! Orang yang membawa balok kayu itu kini memecahkan belenggu dirinya. Paradigma yang sempit kini terbelah, membuka tabir akan toleransi hidup beragama. Bendera kedamaian diangkatnya. Bumi Nusantara menjadi negari “Utara Kuru” yang aman tentram, menimbulkan pelangi yang indah sehabis hujan badai. Indonesia menjadi atlantis yang telah lama hilang itu.


In necessariis unitas, in dubis libertas, in omnibus autem caritas
(Dalam pentingnya kesatuan, dalam keragu-raguan akan kebebasan, dalam segalanya hanyalah cinta kasih)
-  John Paul II -  


Ignatius Fajar Santoso / 11140110196

No comments:

Post a Comment