K.H Nuril Arifin Husein, MBA |
“Bakaaarr
!! Bakaaaar !!! Bakaaar !!!!” Teriak puluhan orang lain. Suasana mencekam. Para
Pastor, Biarawan, Biarawati, dan anak-anak panti asuhan Santa Theresia Poso
segera berhamburan menyelamatkan diri, berlari ke arah bukit di belakang
Gereja.
Kobaran
api mulai tampak, begitu juga dengan asap hitam yang mengepul ke langit kota
Poso. Situasi tidak terkendali. Massa berpakaian hitam-hitam khas kelompok
kristen radikal itu menyusur setiap desa yang dilewatinya. Begitu juga dengan
massa kelompok putih yang notabene adalah kelompok islam radikal yang bertempur
menghabisi orang-orang Kristen di Poso.
Kejadian
serupa pun terulang di berbagai tempat dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh
hingga Timika. Gerakan bawah tanah memotori adanya konflik dengan bendera agama,
entah itu GAM, OPM, konflik Sampang Madura, konflik Mesuji, dan lain-lain. Masyarakat
gelisah. NKRI bergejolak. Ada apa dengan Indonesia?
Kehadiran
kelompok – kelompok agama radikal memang menjadi satu dari sekian banyak
penyebab retaknya hubungan harmonis dalam masyarakat. Etnosentrisme merajalela.
Doktrin-doktrin untuk mengagung- agungkan agama tertentu menjadi masalah klasik
yang membidani lahirnya terorisme di Indonesia.
PESANTREN MULTI AGAMA
Rambut
ikal dengan sorban di kepala, berjalan seperti musafir mencari oase di padang
pasir. Pikirannya jauh ke depan, tidak ada batas. Ia menjadi musuh utama kaum
radikalisme pasca wafatnya K.H Abdurrahman Wahud atau Gus Dur. Namanya terkenal
ketika memaklumkan diri sebagai panglima pasukan berani mati ketika Gus
Dur tengah digoyang parlemen.
Kontroversial.
Dia
adalah ketua Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama (Forkhagama), K.H Nuril
Arifin Husein, MBA atau yang sering disapa dengan sebutan Gus Nuril.
Pemikirannya terhadap toleransi umat beragama selalu menjadi pintu penghalang
kaum radikal untuk menjalankan ideologinya. Bersama dengan Gus Dur, ia
mendirikan pesantren multiagama, yakni Pesantren Soko Tunggal di Semarang dan
Pesantren Taman Hati di Rawamangun, Jakarta.
“Kisah
pendirian pesantren bermula ketika Gus Nuril mengalami kanker ganas. Ia
menjalani perjalanan spiritual dan ketika Gus Nuril melakukan salat kasful
mahjub atau salat untuk membuka hati selama 40 hari, ia mendapat amanat
untuk mendirikan pesantren,” ujar Kisno Tantowi, salah seorang pengurus
pesantren.
Pada
jaman Soeharto, sebuah ide brilian dari Ibu Tin mengejewantah pada didirikannya
miniatur fisik Indonesia, yakni Taman Mini Indonesia Indah. Tetapi, bagi Gus Nuril, pembangunan fisik
tidak akan berarti jika tanpa roh atau soul. Fisik tidak akan hidup
tanpa adanya roh. Pemerintah lebih mementingkan pembangunan proyek olahraga
Hambalang sebesar dua trilyun lebih yang merupakan sekedar pembangunan fisik,
tetapi pembangunan rohnya tidak ada.
Lahirnya
pesantren multi agama mau mewujudkan pendidikan roh atau pendidikan rohani bagi
masyarakat Indonesia, tidak sebatas untuk umat muslim, tapi untuk umat beragama
lain. Keberadaan pesantren multi agama berfungsi untuk mengaplikasikan masjid,
gereja, vihara, dan tempat ibadah lain yang berada di dalam hati. Selain itu,
pesantren ini juga bertujuan untuk menciptakan persatuan di tanah air.
“Konsep
yang dibangun adalah pemukiman masyarakat multi agama beserta tempat ibadahnya
tanpa adanya pagar yang menjadi penghalang interaksi. Saat ini, manusia tidak
mau dipenjara tetapi membangun rumah dengan
pagar yang tingi-tinggi sehingga memenjarakan diri sendiri. Saya ingin
kehidupan seperti pada jaman dulu, seperti negara Kuru kata Bung Karno, negeri
yang ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo,” ujar
Gus Nuril sesaat setelah menyeruput kopi hitamnya.
Dengan
satu dua hisapan rokok kretek khas Indonesia, Gus Nuril menceritakan betapa
kuat bangsa ini pada jaman kerajaan masa lampau, seperti pada jaman Majapahit.
Memang pada masa itu, Nusantara dikenal sebagai sebuah wilayah dengan kerajaan
yang kuat. Ketika armada laut Nusantara menjadi yang nomor satu di dunia.
Majapahit,
Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Nusantara telah menancapkan
tiang pancang yang disegani dunia dan memakmurkan rakyatnya. Betapa tidak,
punggawa paling akhir atau paling rendah memiliki gaji sebesar 15 juta rupiah
atau 50 kantang beras pada jaman itu. Menjadi sebuah ironi ketika saat ini
tingkat kemiskinan rakyat Indonesia masih berada di atas 15% dari total
keseluruhan penduduk Indonesia.
Ukiran-ukiran
kayu khas Jawa sangat terlihat di dalam pesantren. Udara ketidakterikatan dari
hiruk pikuk dunia luar yang begitu ruwet dan tidak teratur sangat
terasa, bebas dari konflik-konflik kepentingan yang menjerumuskan manusia
kepada paham homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia
lainnya. Kehidupan para santri menjadi nada tersendiri dalam partitur kehidupan
masyarakat Indonesia yang mengobarkan egoisme dan individualistik.
Gus
Nuril dengan gayanya yang nyentrik, duduk bersila dengan tatapan yang tajam, rokok
pada tangan kanan dan cangkir kopi pada
tangan kiri dengan bumbu guyonan logat Jawa yang begitu menghibur.
Baginya, pesantren multi agama mau mencetak pemimpin-pemimpin yang mengabarkan
islam dalam “I” besar.
“Ada
islam dengan ‘i’ kecil dan ada islam dengan ‘I’ besar. Kalau islam dengan ‘i’
kecil adalah islam yang dibawa risallahnya oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi
Wassalam. Kalau Islam dengan ‘I’ besar adalah islam yang dibawa risallahnya
oleh Syadina Adam sampai dengan Syadina Isa. Maka konsepnya Islam itu adalah
ketika seseorang menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah, itu disebut
taslim. Orang yang taslim itu disebut muslim. Jadi meskipun orang itu beragama
Kristen atau apapun, dia disebut muslim dalam skala Islam ‘I’ besar. Kalau ada
Pendeta yang ikut belajar di sini ya jadilah pendeta yang mengabarkan keimanan
dan menebarkan agama dengan cara yang dewasa,” ujar Gus Nuril.
“ISME" BARU DI DUNIA
Sebagai
bangsa yang besar, Indonesia tidak lepas dari panggung politik dunia.
Pertempuran atas nama agama memang menjadi trend mark, antara Islam
radikal yang dimotori oleh Osama bin Laden dan Kristen radikal yang berpusat di
Amerika Serikat. Perang dan invasi kedua kubu tak terindahkan. Traged 11
september 2001 menjadi gerbang dibukanya perselisihan agama modern, ketika dua
pesawat menembus dan meluluhlantahkan menara World Trade Center (WTC) di New
York dan lebih dari 3000 jiwa melayang, masyarakat dunia, khususnya umat
Kristen semakin mengobarkan bendera perang terhadap umat muslim, begitu juga
sebaliknya.
Kecenderungan
masyarakat Indonesia yang menelan mentah-mentah berita di media massa secara
sadar atau tidak membangun paradigma etnosentrisme yang mendalam. Semangat
kepedulian terhadap sesama, khususnya satu agama, menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi ini baik (jika dilandaskan semangat toleransi), di satu sisi ini
menjadi senjata ampuh bagi pihak-pihak yang menginginkan adanya perang agama di
Indonesia.
Munculnya
gagasan toleransi beragama di Indonesia adalah satu dari sekian banyak upaya
untuk mewujudkan paham atau ideologi baru di dunia. “Kita dapat memunculkan isme
baru yang lebih komprehensif dan lebih lunak sehingga tidak disibukkan dengan
pertarungan Kristen dan Islam, kalau islam bernama Islam ala Indonesia, kalau
Kristen ya Kristen ala Indonesia,” kata pria kelahiran Gresik, 12 Juli 1958
ini.
Paham
itu mau mengajarkan adanya keterbukaan dan mengutamakan nilai-nilai dasari
beragama, yakni cinta kasih dan kedamaian. Isme atau ideologi baru inilah
yang ingin dimunculkan sebagai pemisah dan pembuka jalan bagi masyarakat dunia
untuk tidak hanyut pada suasana konflik Amerika dengan jaringan Al-qaeda atau
sejenisnya yang membawa bendera agama sebagai topeng dari konflik kepentingan
di antara mereka.
DEWASA DALAM BERAGAMA
Konflik
atas nama agama memang menjadi isu yang sangat sensitif bagi masyarakat
Indonesia. Tingkat keberagaman yang sangat tinggi – dibanding dengan negara
lain – dapat menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Ayunan parang,
pembakaran rumah ibadah, peledakan bom, hingga pembunuhan massal menjadi cerita
di balik konflik dengan bendera agama.
Isu
mengenai beberapa kelompok yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam
semakin menguat. Meskipun berlandaskan paham Ketuhanan, Indonesia tidak bisa
begitu saja menjadi negara agama. Hal tersebut sangat bertentangan dengan
konstitusi negara dan Hak Asasi Manusia untuk memilih dan meyakini suatu agama
dengan bebas.
Kontroversi
mengenai konflik kepentingan mayoritas dan minoritas tidak dapat begitu saja
dipukul rata. Segelintir kalangan dengan pemikirannya yang jauh dari kata
toleransi tidak bisa digeneralisasikan dengan pemikiran masyarakat yang lain.
Keberadaan pesantren multi agama merupakan pendobrak dari paradigma minoritas
terhadap kaum mayoritas. Saat ini banyak anggapan yang muncul dari kalangan
minoritas yang mengesankan adanya eksklusivitas dari kalangan mayoritas.
Orang-orang seperti Gus Nuril dan tokoh-tokoh lain yang mengutamakan toleransi
beragama menjadi bukti bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang mengajarkan
kebaikan, yang menebarkan toleransi terhadap kaum beragama lain.
Maka
dari itu, Indonesia memerlukan filosofi beragama yang dewasa, yang membawa
bendera perdamaian, seperti yang terjadi ketika semangat Bung Karno mengenai
Pancasila diimplementasikan ketika Sang Proklamator membangun Masjid Istiqlal
yang berada di sisi barat Gereja Katedral Jakarta, di mana arsitek yang dipilih
adalah dari kalangan Kristen, yakni Frederich Silaban.
Malam
itu berbeda dari malam biasanya. Lampu kerlap-kerlip menerangi pepohonan di
halaman Katedral. Hiasan-hiasan bertebaran membangun suasana. Umat Katolik
menyambut hari raya Natal, menyambut lahirnya Krstus di dunia. Di luar gedung
gereja, para pemuda berpeci itu sibuk mengatur kendaraan yang lalu lalang.
Mereka bahu-membahu untuk mengamankan perayaan ekaristi malam Natal.
Begitu
juga pada pagi hari itu. Ribuan orang berbondong-bondong datang ke masjid untuk
melakukan salat Idul Fitri. Lalu litas sangat padat. Umat Islam merayakan
kemenangan setelah sebulan penuh menahan nafsu dengan berpuasa. Terlihat para
pemuda membantu pihak keamanan melancarkan arus lalu lintas dan membantu parkir
para jemaah. Tidak lain tidak bukan mereka adalah para OMK (Orang Muda Katolik)
dari Katedral Jakarta.
Pola
kehidupan yang sangat damai itu mau menggambarkan betapa indahnya hidup berdampingan
dengan semangat toleransi antar umat beragama. Indonesia tidak memerlukan
adanya konflik-konflik atas nama agama karena di mana pun agama selalu
mengajarkan cinta kasih. Yang diperlukan bangsa ini adalah gerakan cinta damai
dengan toleransi menjadi ujung tombaknya. Yang diperlukan adalah kedewasaan
dalam beragama.
“Kedewasaan
agama diibaratkan seperti supermarket yang berjualan satu barang tetapi tidak
ribut, berderet berjualan sepatu tetapi tidak ribut, berderet berjualan pakaian
tetapi tidak ribut. Berikan masyarakat untuk memilih dari variabel-variabel
agama yang ada. Maka akan tercipta kedewasaan beragama. Setiap agama tidak
memjelekkan agama lain tetapi menunjukkan kemanfaatan beragama. Sebaik-baiknya
manusia adalah yang berbuat baik bagi manusia lainnya,” ungkap Gus Nuril yang
memiliki pandangan politik pluralisme yang rahmatan lil alamin.
Praaankk
!!! Orang yang membawa balok kayu itu kini memecahkan belenggu dirinya.
Paradigma yang sempit kini terbelah, membuka tabir akan toleransi hidup beragama.
Bendera kedamaian diangkatnya. Bumi Nusantara menjadi negari “Utara Kuru” yang
aman tentram, menimbulkan pelangi yang indah sehabis hujan badai. Indonesia
menjadi atlantis yang telah lama hilang itu.
In necessariis unitas, in dubis libertas, in omnibus autem
caritas
(Dalam pentingnya kesatuan, dalam keragu-raguan akan
kebebasan, dalam segalanya hanyalah cinta kasih)
- John Paul II -
Ignatius Fajar Santoso / 11140110196
No comments:
Post a Comment