Wednesday, June 19, 2013

Tidak Ada Salahnya Sekali-kali Menyalahkan Rivalitas



Tak ada warga Jakarta yang tidak mengenal Persija Jakarta. Kecuali anda tengah berpura-pura mengidap short-term memory lost akut, maka bolehlah anda berkata bahwa Persija adalah bagian dari sejarah era Majapahit yang sudah punah dan sekarang para peniliti sedang melakukan penggalian di bawah kaki gunung Merapi untuk menemunkan peninggalannya.

Begitupun dengan warga Bandung. Tidak ada warga Bandung yang tidak mengenal Persib Bandung. Kecuali anda adalah teman dari si warga Jakarta yang berpura-pura mengidap short-term memory lost akut tadi dan ingin menunjukkan rasa kesetiakawanan, maka bolehlah anda berkata bahwa Persib adalah sebuah nama pulau di bagian timur Indonesia yang menjadi tempat pengasingan ketika zaman Orde Baru.

Persija Jakarta dan Persib Bandung adalah dua klub sepakbola yang paling terkenal di Indonesia. Kemahsyuran nama kedua klub ini tidak kalah dengan nama-nama lain seperti PSMS Medan, PSM Makassar, Arema Malang, ataupun Persebaya Surabaya.

Apabila laga Arema Malang melawan Persebaya Surabaya kerap dilabeli Derby d’Java, maka pertandingan antara Persija Jakarta melawan Persib Bandung ini diberi tajuk Derby d’Indonesia. Tentu bukan tanpa alasan pertemuan kedua tim ini mendapatkan judul sebesar itu. Sejarah rivalitas yang terjadi diantara mereka membuat laga mereka sangat dinanti-natikan oleh seluruh penggemar sepakbola Indonesia.

Berbagai gelar yang telah mereka raih di era Perserikatan dan era Liga Indonesia membuat dua klub ini begitu dihormati oleh setiap lawan mereka hingga saat ini. Macan Kemayoran, begitu biasa orang-orang menyebut Persija, adalah sembilan kali juara Perserikatan dan satu kali juara Liga Indonesia. Sedangkan Maung Bandung menjuarai Perserikatan lima kali dan Liga Indonesia satu kali.

Ditambah dengan faktor geografis, rasanya tidak salah jika kedua klub ini memiliki tingkat persaingan yang tinggi. Apabila Persija sebagai perwakilan dari ibukota, maka Persib adalah wakil rakyat Jawa Barat. Dengan kata lain, dua klub ini sama-sama berusaha mempertaruhkan harga diri kota nya masing-masing.

Unsur geografis tersebut konon ditambah dengan sinisme gaya hidup. Jakarta identik dengan warganya yang modern dan tenggelam di dalam keglamoran, sedangkan Bandung justru mempertahankan tradisi budaya Sunda yang mereka miliki.

Apalagi manajemen Persija memang sempat diguyur dana besar-besaran setelah disokong oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Macan Kemayoran mendapatkan dana berlimpah dan diisi oleh pemain-pemain bintang. Rasa iri yang timbul akibat hal tersebut pun menjadi alasan yang mendukung rivalitas mereka.

Merembet Ke Suporter

Setiap kali kedua klub ini bertemu, tensi tinggi di lapangan pasti tersaji selama 90 menit penuh. Kontroversi dan pelanggaran-pelanggaran keras sudah bukan lagi hal yang asing jika Persija sedang melawan Persib. Kartu kuning ataupun kartu merah juga hampir pasti tertulis di kertas laporan pertandingan yang diisi oleh panitia pelaksana.

Tensi tinggi ternyata bukan hanya terjadi di lapangan. Di luar lapangan, tepatnya di hati para fans kedua tim, tensi tersebut justru memuncak sebagai kebencian. The Jakmania, fans Persija membenci fans Persib yang menamani diri mereka Viking atau bobotoh. Rasa benci tersebut jelas tidak bertepuk sebelah tangan. Viking juga sangat membenci The Jakmania.

Kedua fans beberapa kali terlibat perkelahian berdarah. Kepala yang bocor atau badan penuh luka lebam tak lagi terhindarkan setiap kali mereka bentrok fisik. Bahkan yang terakhir, dua orang anggota Viking bernama Dani Maulana (17) dan Rangga Cipta Nugraha (22) tewas di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) ketika pertandingan Persija melawan Persib pada bulan bulan Mei 2012 akibat dikeroyok oleh oknum suporter yang diduga adalah The Jakmania.

Sekalipun misalnya oknum suporter tersebut bukanlah The Jakmania-karena belum tentu semua fans Persija adalah The Jakmania, bisa saja simpatisan-dapat dipastikan banyak anggota Viking yang tidak mau tahu hal tersebut. Yang jelas kedua orang tersebut meregang nyawa di Jakarta ketika suporter Persija memenuhi kawasan SUGBK.

**********

Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan permusuhan kedua kelompok suporter ini berawal. Berbagai berita dan sudut pandang yang saya baca dari berbagai sumber, baik itu oleh pihak The Jakmania ataupun Viking sama-sama tidak dapat ditemukan kesamaan awal mula bibit perselisihan dan permusuhan ini tercipta.

Gesekan tertua yang saya temukan terjadi pada tanggal 16 April 1995. Berdasarkan berita yang diliris oleh Tempo.com tersebut, perkelahian mengambil tempat di Stadion Menteng (sekarang telah menjadi Taman Menteng). Ketika itu sedang dilaksanakan pertandingan Grup Barat putaran pertama kompetisi Liga Dunhill antara Persija melawan Persib. Kejadian berlangsung pada babak pertama dan sempat membuat pertandingan tertunda selama 20 menit. Terjadi kegiatan saling lempar melempar batu, botol, tongkat, dan benda-benda lain yang bisa dilempar oleh kedua belah pihak suporter setelah fans Persib merangsak ke pinggir lapangan akibat kapasitas stadion yang tidak memadai.

Gesekan berikutnya saya yang temui bersumber dari web simaung.com. Seorang pendukung Persib yang memiliki akun Twitter @ekomaung menceritakan bahwa pada tahun 1999 di Stadion Siliwangi pernah terjadi bentrokan. Suporter Persija yang ketika itu hadir dengan menggunakan bis menjadi sasaran amuk fans Persib yang marah karena tidak bisa masuk ke dalam stadion.

Berlanjut ke tahun 2000 ketika Liga Indonesia VI bergulir. Kembali mengambil tempat di Stadion Siliwangi, kerusuhan besar terjadi antara kedua belah fans. The Jakmania yang datang ke Bandung untuk mendukung Persija sebenarnya sudah berkoordinir dengan perwakilan Viking. Namun tetap saja beberapa oknum ternyata menyerang para fans Persija ini.

Konon katanya, penyerangan didasari oleh pertandingan Persijatim (sekarang Sriwijaya FC) melawan Persib di Stadion Lebak Bulus beberapa bulan sebelumnya. Fans Persib yang datang ke Jakarta dikala itu merasa diperlakukan tidak simpatik oleh “anak-anak” Jakarta meski sebenarnya Persijatim dengan Persija merupakan dua tim yang berbeda.

Bentrokan tidak dapat terelakkan. Beberapa anggota The Jakmania terluka parah akibat dikeroyok dan dipukul menggunakan benda tumpul. Beberapa kaca mobil hancur akibat terkena lemparan batu yang salah sasaran tersebut.

Namun dari berbagai perkelahian yang terjadi, bentrokan yang paling terkenal dan dianggap sebagai cikal bakal permusuhan mereka adalah ketika Kuis Siapa Berani di Jakarta pada tahun 2002.
Ketika itu, salah satu kuis paling terkenal tersebut mengundang beberapa fans klub tim-tim sepakbola di Indonesia. Yang hadir antara lain The Jakmania (mewakili Persija Jakarta), Pasoepati (mewakili Persis Solo), Aremania (mewakili Arema Malang), ASI (Asosiasi Suporter Indonesia), dan tentunya Viking (mewakili Persib Bandung). Viking menjadi juara satu dalam kuis tersebut.

Singkat cerita, tiba-tiba terjadi perkelahian seusai acara. The Jakmania yang awalnya hanya berjumlah 24 orang perlahan bertambah banyak seiring berdatangannya anggota The Jak lainnya setelah mendengar kabar tersebut.

Naas. Meski para anggota Viking sudah diungsikan oleh pihak kepolisian, penyerangan ternyata tetap terjadi meski Viking sudah berada dalam perjalanan pulang di Tol Kebun Jeruk. Satu buah mobil yang membawa para pendukung Persib tersebut berhasil dicegat oleh para The Jakmania dan yang selanjutnya terjadi adalah pengeroyokan. Total sembilan orang mengalami luka-luka dan harus mendapatkan perawatan.
Semenjak itulah kebencian diantara mereka memuncak dan tetap bertahan hingga sekarang.

*********

Tak hanya antara suporter, kebencian ini akhirnya ikut berimbas kepada para pemain dari tim lawan. Beberapa kali sempat terjadi penyerangan oleh pihak suporter lawan ketika salah satu klub datang ke kota mereka.

Pada tahun 2003, para pemain Persija sempat hampir menjadi korban seandainya mereka tidak cepat pergi dari hotel tempat mereka menginap. Setelah pertandingan melawan Persib di Bandung yang dimenangi oleh Persija, hotel mereka didatangi oleh beberapa pendukung Persib yang pada akhirnya melakukan pengerusakan prasarana hotel.

Sedangkan pada tahun 2007, bus yang berisikan para pemain Persib Bandung dilempari batu oleh beberapa suporter Persija pada saat mereka sedang menuju Stadion Lebak Bulus. Alhasil para pemain Persib menolak bermain.

Beberapa kali pemain kedua belah tim juga harus menggunakan kendaraan barakuda milik pihak kepolisian untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan, dan tentunya juga demi alasan keamaan ketika sedang melakukan laga tandang.

Hal ini bahkan merembet ketika para pemain sedang membela tim nasional Indonesia. Ketika para pemain Persib berada di Jakarta untuk pemusatan latihan, mereka dihujat oleh para pendukung Persija. Hal yang sama juga terjadi apabila ada pemain Persija yang melakukan pemusatan latihan bersama timnas di Bandung.

Tidak Hanya Terjadi Di Indonesia

Permusuhan antar suporter seperti ini memang merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari olahraga, terutama sepakbola. Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi permusuhan yang mendarah daging tersebut.

Beberapa yang terkenal adalah fans Manchester United dengan Liverpool, Real Madrid dengan FC Barcelona, SS Lazio dengan AS Roma, Galatasaray dengan Fenerbache, Ajax Amsterdam dengan Feyenoord Rotterdam, dan River Plate dengan Boca Juniors.

Permusuhan tersebut memiliki asal usul yang berbeda-beda. Manchester United dengan Liverpool misalnya. Mereka bermusuhan karena sinisme setelah pembangunan pelabuhan di Manchester menyebabkan pelabuhan di Liverpool menjadi sepi dan berakhiir terhadap banyaknya penggangguran di kota asal The Beatles tersebut. Secara otomatis, muncul kebencian dari scousers-istilah untuk orang asli Liverpool- terhadap manchunian-sebutan untuk orang asli Manchester.

Hal yang berbeda terjadi kepada FC Barcelona-Real Madrid dan SS Lazio-AS Roma karena terdapat unsur politik di dalamnya. Real Madrid merupakan klub yang dicintai oleh pemerintah Spanyol yang dikala itu dipimpin oleh Raja Alfonso ke-13. Sedangkan Barcelona merupakan tim yang berasal dari daerah Katalan. Daerah berotonomi yang ditekan ketika rezim Jenderal Franco dan berusaha memerdekakan diri dari Spanyol.

Sedangkan SS Lazio dan AS Roma merupakan tim dengan kepentingan politik berbeda. Lazio adalah tim yang dahulu kala berisi penganut paham sayap kiri, dan AS Roma merupakan klub yang berisi penganut paham sayap kanan.

Untuk Galatasaray-Fenerbache dan River Plate- Boca Juniors, mereka merupakan tim-tim yang mewakili kasta masyarakat. Galatasaray dan River Plate mewakili rakyat menengah keatas, sedangkan Fenerbache dan Boca Juniors mewakili masyarakat kelas pekerja.

Perselisihan Ajax- Feyenoord lebih parah lagi. Ajax yang bertempat di Amsterdam dianggap sebagai klub berisi orang-orang Yahudi. Oleh sebab itulah mereka dibenci oleh para pendukung Feyenoord yang berada di Rotterdam. Maklum, hingga saat ini pun sebenarnya sinisme terhadap orang Yahudi di Eropa masih tetap hidup meski tidak lagi seekstrem dahulu kala.

Kalau mau dibandingkan dengan perselisihan The Jak dengan Viking, seluruh rivalitas diatas sebenarnya menyimpan sebuah keganjilan. Ketika mereka yang diluar negeri saling membenci karena alasan politik, strata sosial, dan ras, The Jak dan Viking malah berawal dari sesuatu yang sebenarnya dapat dihindari.

The Jakmania sendiri sebenarnya baru lahir secara resmi di tahun 1997. Sebelumnya, belum ada kelompok suporter resmi yang mendukung Persija Jakarta ketika bermain di Stadion Menteng. Bahkan tak jarang suporter lawanlah yang memenuhi stadion ketimbang suporter Persija. Ibaratnya, ketika PSMS datang maka yang memenuhi stadion adalah masyarakat Batak, ketika Persebaya yang datang maka yang memenuhi stadion adalah orang Jawa, dan begitu seterusnya.

Viking juga dahulu “hanyalah” satu dari puluhan kelompok suporter Persib. Terdapat Stone Lovers, Suporter Forever, BFT, Provost PERSIB, Vorib, Robokop, Casper, Tiger Fortune, dan masih banyak lagi. Viking bukanlah kelompok suporter yang besar seperti sekarang ketika semua suporter Persib telah identik sebagai Viking atau bobotoh.

Imbas Yang Terasa Merugikan

Pada tanggal 22 Juni 2013 yang akan datang, Persija Jakarta dijadwalkan bertanding melawan Persib Bandung di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Namun sialnya, muncul berita bahwa pihak kepolisian hanya akan memberikan izin pertandingan apabila dilaksanakan tanpa penonton.

“Mereka khawatir pertandingan akan rusuh kalau dihadiri penonton karena tensinya sangat tinggi,” ungkap Larico Ranggamone, ketua The Jakmania.

Tentu hal ini sangat merugikan pihak Persija karena mereka akan menghadapi musuh bebuyutannya tanpa dukungan dari The Jakmania. Rangga dengan wajah yang sedikit berkerut berusaha membandingkan dengan tensi pertandingan River Plate melawan Boca Juniors yang sebenarnya jauh lebih sering terjadi perkelahian fisik ketimbang Persija melawan Persib.

"Pertandingan antara Boca Juniors dan River Plate selalu ramai dan tensinya tinggi. Tapi pihak kepolisian di sana bisa bertindak tegas terhadap fans yang melakukan pelanggaran. Mungkin itu bisa dicontoh,” lanjutnya seraya mengisyaratkan bahwa Polisi di Indonesia terlalu bersikap mencari aman.

**********

Memang acap kali pertandingan-pertandingan di Liga Indonesia harus dilaksanakan tanpa penonton akibat tidak mendapatkan izin dari pihak kepolisian. Pihak kepolisian menilai bahwa laga-laga tersebut terlalu riskan terjadi bentrokan apabila dihadiri penonton. Oleh sebab itu, dipilihlah keputusan untuk tidak memperbolehkan penonton masuk ke dalam stadion.

Tak jarang pula beberapa tim harus menjalani pertandingan di kota lain karena tidak mendapatkan izin sama sekali dari kepolisian setempat. Sungguh sesuatu hal yang aneh ketika fans-fans di luar negeri yang jauh lebih beringas justru bisa menghadiri pertandingan di kandang lawan dengan pengamanan dan penjagaan ketat dari pihak keamaan.

Biasanya, pihak polisi akan berusaha membuatkan rute khusus sehingga suporter lawan dan suporter tuan rumah tidak bertemu secara fisik. Hal-hal ini dilakukan untuk menghindari bentrok secara langsung. Jadi meskipun tensi pertandingan sangat tinggi, mereka tetap bisa mendukung tim nya ketika bertandang.

Di Inggris contohnya. Biasanya polisi akan membuat barikade untuk memisahkan suporter lawan dan suporter tuan rumah di dalam stadion. Bahkan jika dibutuhkan, mereka akan mengosongkan beberapa sektor agar fans tuan rumah tidak bisa menghampiri fans lawan, begitupun sebaliknya.

Di beberapa negara Eropa lainnya seperti Italy, Turki, Kroasia, dan Polandia, fans lawan yang diberikan tribun khusus akan dilindungi oleh jaring untuk menghindari lemparan dari fans tuan rumah. Di dalam tribun tersebut tentunya juga disiapkan beberapa anggota kepolisian untuk menghidari pengerusakan prasarana stadion.

*********

Beberapa pihak sebenarnya telah berusaha mendamaikan The Jakmania dengan Viking. Namun apa daya. Semua berakhir sia-sia dan perdamaian tersebut tak kunjung tercipta. Bahkan Ayi Beutik, Panglima Viking sempat berujar bahwa ia ingin rivalitas ini tetap dijaga agar menjadi seperti Real Madrid dan FC Barcelona.

Baru-baru ini Larico Ranggamone juga sempat kembali mengusahakan perdamaian dengan pihak Viking. 
Tujuannya jelas agar The Jak bisa mendukung Persija ke Bandung, dan Viking bisa mendukung Persib di Jakarta. Namun kembali lagi, tidak ada respon yang diberikan pihak Viking sampai saat ini.

"Mari kita hilangkan dendam masa lalu. Tidak jamannya lagi melakukan kekerasan antarsuporter. Kami akan mengawasi setiap anggota yang ingin melakukan sweeping atau larangan masuk buat Viking," tambahnya.

Sejatinya, perdamaian kedua belah pihak akan sangat menguntungkan klub karena bisa mendapatkan dukungan ketika bertanding ke kandang lawan. Tidak ada lagi bentrokan yang bisa saja kembali berujung kematian.

Indonesia bukanlah Eropa yang pihak keamanannya bisa bersikap preventif secara tegas. Kita dibiasakan untuk bersikap represif secara halus dan memilih untuk tidak memberikan izin ketimbang nantinya malah merepotkan. Padahal tugas mereka adalah mengayomi dan melindungi masyarakat, bukan melarang.

Terkhusus pertandingan pada tanggal 22 Juni esok, seharusnya pertandingan tersebut bisa dipenuhi oleh penonton. Apalagi tanggal tersebut jatuh pada hari kelahiran kota Jakarta yang notabenenya berarti derby tersebut akan terasa lebih special dari biasanya.


Sebuah ironi memang. Ketika fans sepakbola tidak lagi dianggap sebagai sebuah bentuk kebebasan berorganisasi dan berekpsresi, maka hanya tinggal menunggu waktu saja sepakbola di negara tersebut akan mati. Eh, atau apakah sebenarnya kita sedang mati suri?

No comments:

Post a Comment