Wednesday, June 19, 2013

Cagar Budaya Betawi di Jakarte..

Lenteng agung,

Setu, Setu, Setu..

Tahaaan!  Tariiik pirrr....

Dengan menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam dengan menaiki kendaraan umum, akhirnya tibalah saya ditempat yang dituju. Disambut dengan gapura yang berdiri kokoh dan memiliki unsur ukir yang khas dari budaya Betawi yang bertuliskan “Pintu  Masuk 1 Gang Pitung Perkampungan Budaya Betawi - Setu Babakan

Perjuangan pun tidak berhenti sampai dengan menaiki kendaraan umum selama dua jam saja. Sesampainya di depan gapura saya masih harus berjalan menyusuri dan melewati komplek perumahan yang notabene semua rumahnya memiliki sentuhan gaya rumah khas Betawi, entah itu dari unsur  pagar  maupun atap rumahnya yang terbuat dari kayu ukir. Dan juga tidak lupa, disetiap teras rumah penduduk sekitar juga terdapat beberapa kursi dengan meja ditengahnya mirip seperti yang ada pada rumah  ‘Si Doel” salah satu tontonan televisi, jika kita pernah melihatnya.

“Ini sih biasanya dipake untuk santai, kalo kagak buat ngejamu tamu yang suka dateng sewaktu-waktu”, ujar Jaka, salah satu pemilik rumah bergaya Betawi itu.

Untuk menuju Setu (semacam waduk atau danau), saya masih harus menempuh jalanan kira-kira 100 meter dengan berjalan kaki agar dapat melihat Setu seperti yang disebut-sebut itu. Perjalanan pun dilanjutkan dengan menyusuri jalanan yang cukup mulus dan melewati rumah-rumah yang letaknya berdampingan dan berjajar rapih.

Saya pun disuguhkan dengan pemandangan rumah-rumah mulai dari yang berukuran kecil hingga rumah yang berukuran besar yang telah direnovasi dan sudah bergaya modern akan tetapi tidak dengan meninggalkan unsur budaya Betawinya.

Ditengah perjalanan menuju Setu, saya melihat salah satu sudut lahan komplek berpagar yang masih kosong sedang membangun beberapa rumah khas Betawi yang dibangun dengan ukuran tinggi seperti miniatur rumah adat yang ada di TMII(Taman Mini Indonesia Indah).

Setelah menyusuri jalanan yang  membutuhkan waktu sekitar 15 menit tersebut, tanpa terasa saya sudah berada di depan Setu yang dimaksud. Ya Setu Babakan. Setu yang merupakan danau buatan tersebut mempunyai lebar seluas ± 30 hektar dengan kedalaman mencapai 1 hingga 5 meter.

Setu yang terletak di kawasan Srengseng Sawah, Jagakarsa ini memiliki fungsi juga selain sebagai pusat Perkampungan Budaya Betawi. Tempat ini difungsikan sebagai tempat wisata alternatif bagi masyarakat Jakarta.

Perkampungan Budaya Betawi ini dibangun melalui usul yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh Betawi maupun seniman kepada Badan Musyawarah Masyarakat Betawi. Kemudian Badan Musyawarah Masyarakat Betawi mengusulkan ke Pemerintah DKI Jakarta.

Dan akhirnya, pada bulan Oktober tahun 2000 lah pembangunan untuk Perkampungan Budaya Betawi dilaksanakan.  Kemudian  pada tanggal 20 Januari 2001 diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu Bapak Sutiyoso atau yang lebih akrab dipanggil Bang Yos tersebut.

Setu Babakan yang terhubung dengan Setu Mangga Bolong ini juga telah memiliki UU Perda DKI Jakarta  No.3 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa Perkampungan Budya Betawi adalah suatu kawasan di Jakarta dengan komunitas yang ditumbuh kembangkan budaya Betawi yang meliputi seluruh hasil gagasan dan karya baik fisik maupun non fisik yaitu kesenian, adat isitiadat foklore kesastraan dan kebhasaan, kesejarahan serat berbagai bangunan yang bercirikan kebetawian.

“Sebelum ini dibangun, sebenernya ada lima lokasi yang dijadiin pertimbangan. Itu di kawasan Marunda, Kemayoran, Condet, Srengseng yang di Jakarta Barat sama disini ini.” ujar Indra selaku pengurus kawasan Setu Babakan.

Puas menikmati udara yang masih segar dan tidak berpolusi, saya pun menikmati pemandangan sekitar setu yang masih rindang tersebut karena masih banyak dikelilingi oleh pohon-pohon yang berukuran cukup besar.
Saat mengarahkan pandangan ke berbagai sudut, mata saya pun dikejutkan dengan berbagai macam sepeda dengan bentuk binatang air yang dapat ditumpangi oleh 2 orang saja. Ternyata setu ini juga memanfaatkan tempat untuk menawarkan para pengunjungnya utnuk berwisata air.

Rupanya setu ini memanfaatkan wisata air dengan berbagai macam fasilitas seperti, sepeda air (seperti yang saya lihat), perahu naga, memancing dan olahraga kano.

Selain memiliki beragam khas kesenian dan kuliner, adat Betawi juga  memiliki beberapa tahapan pada proses pernikahan,  jika sepasang kekasih ingin menikah. Pada pernikahan dalam kebudayaan Betawi, terdapat satu macam makanan khas yang tidak boleh tertinggal yaitu, roti buaya yang selalu dibawa pada saat seserahan dimana seorang laki-laki melamar pasangannya. Konon roti buaya tersebut menandakan bahwa calon suami istri tersebut harus bisa setia layaknya buaya dan cukup menikah sekali seumur hidup.

Pada tahap pertama yaitu disebut Ngedelengin atau yang  biasa dikenal dengan Mak Comblang. Tahapan ini memiliki makna yaitu sebelum adanya pernikahan, ada baiknya jika terdapat perkenalan antara keluarga pria dan keluarga satu sama lain. Perkenalan keluarga tersebut tidak terjadi dengan sendirinya melainkan dengan bantuan seseorang yang menjadi Mak Comblang. Mak Comblang akan ikut serta juga saat pihak dari keluarga pria datang kerumah calon wanitanya.

Disini lah Mak Comblang bertugas memberikan uang sembe atau yang biasa dikenal dengan istilah angpao kepada calon istri. Jika telah terdapat persetujuan antara keluarga wanita dan keluarga pria, maka sampailah pada penentuan waktu lamaran. Dalam hal ini, Mak Comblang lah yang mengurus kapan dan apa saja yang menajdi barang bawaan pada saat waktu lamaran.

Kemudian tahap yang selanjutnya adalah tahap kedua. Pada tahap ini terjadilah pihak keluarga pria meminta izin kepada pihak keluarga wanita untuk melamar anaknya tersebut. Di tahap ini juga terdapat persyaratan untuk calon mempelai wanita. Persyaratannya, calon mempelai wanita harus sudah tamat dalam membaca Al-quran. Di tahap ini juga, Mak Comblang tetap hadir serta wakil orangtua dari mempelai pria yang terdiri dari sepasang wakil dari keluarga ibu dan keluarga bapak.

Selanjutnya pada tahap ketiga terdapat tradisi Bawa Tande Putus. Di tahap ini bukan berarti hubungan yang akan dilanjutkan ke acara pernikahan antara pria dan wanita tak jadi. Akan tetapi Tande Putus adalah tahapan dimana mempelai pria memberikan  sebuah barang atau cincin belah rotan sebagai tanda bahwa tidak ada seorang pria manapun yang boleh mengganggu gugat mempelai wanita. Setelah tahap ketiga berakhir, barulah adanya acara Akad Nikah.

Sebelum akad nikah dilaksanakan, mempelai wanita harus “di piare”(di piara). Maksudnya disini adalah mempelai wanita harus dipelihara oleh tukang rias dengan maksud dan tujuan setiap kegiatan atau hal apapun yang dilakukan oleh mempelai wanita dapat terkontrol dengan baik, mulai dari segi kesehatan dan kecantikan menuju acara akad nikah.

Selain itu, ada juga satu acara dimana mempelai wanita dimandikan dengan cara dilulur kemudian acara Tangas atau Kum yang bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa lulur dan yang terakhir adalah acara Ngerik atau Malam Pacar dimana mempelai wanita memerahkan kuku tangan dan kaki dengan menggunakan pacar.
Setelah semua acara diatas selesai, barulah dilaksanakannya Akad Nikah. Sebelum memasuki rumah mempelai wanita, ada satu tradisi yang disebut Palang pintu. Tradisi ini merupakan gerakan silat yang dilakukan oleh Bapak dari mempelai wanita dan juga pria.

Baju yang dikenakan pada saat akad nikah pun juga menjadi tradisi . mempelai wanita menggunakan baju kurung yang padukan dengan selendang serta sarung songket. Kemudian kepala mempelai wanita juga dihias dengan sanggul sawi yang di beri lima buah kembang goyang (sesuai dengan nama salah satu kuliner khas Betawi) serta burung Hong. Di dahi mempelai wanita juga terdapat gambar hiasan bulan sabit berwarna merah yang memiliki arti bhawa mempelai wanita masih gadis.

Tak mau  kalah  penampilan juga dengan mempelai wanita, mempelai pria pun juga diharuskan menggunakan baju tradisi yang telah ditentukan seperti memakai Jas Rebet serta bawahan sarung Plakat, hem dan tak lupa hiasan kepala yaitu kopiah. Selain itu, ada juga busana Jubah Arab yang dikenakan saat resepsi berlangsung. Dikenakannya Jubah Arab, baju Gamis dan elendang yang panjang sisinya dari kiri ke kanan memiliki arti tersendiri, yaitu sebuah harapan agar rumah tangga kedua mempelai selalu damai.

Setelah mengitari jalanan yang cukup luas dan lebar disekitar Setu. Disana saya melihat banyak sekali penjual makanan yang sangat berjajar teratur di seberang pinggir Setu. Bukan sembarang makanan ataupun minuman yang mereka jajakan, tetapi makanan dan minuman khas Betawi lah yang akan  mereka tawarkan kepada kita sebagai  pengunjung yang baru datang ke tempat tersebut.

Banyak makanan khas Betawi yang dikenal, tetapi salah satu kuliner yang  paling banyak dicari oleh pengunjung dan telah  menjadi simbol makanan khas betawi setiap tahunnya di salah satu arena yaitu  PRJ adalah Kerak Telor. Asal muasal kerak telor sendiri sudah ada dari zaman Belanda ( saat itu Jakarta masih bernama Batavia). Sudah  tidak perlu ditanyakan lagi bahan utama apa yang dibutuhkan untuk membuat makanan tersebut. Ya, tentunya telor ayam atau bebek, kemudian tidak lupa dicampur dengan nasi ketan dan kelapa parut, karena pada saat itu (zaman Belanda)  kelapa menjadi salah satu komoditi utama. Harga yang ditawarkan pun juga bervariasi.

“Pake telor ayam 12ribu, kalo telor bebek 13ribu neng. Mau pesen yang mana?” ujar Hasan saat menawarkan makanan yang dijajakannya itu.

“Pesen dua ya bang. Pake telor ayam aja deh” jawab saya setelah memutuskan untuk memesan.

Selain kerak telor sebagai makanan khas, ada pula minuman yang juga menjadi khas dari budaya Betawi itu sendiri. Apalagi kalau bukan Bir Pletok. Minuman yang terbuat dari 100 persen bahan alami tersebut dibuat dari Jahe, Cengkeh, Daun Pandan, Secang, Batang Sereh, Gula dan Garam yang dicampur menjadi satu hingga menghasilkan sari (air) saat direbus dan kemudian dikemas dalam botol kaca yang serupa dengan botol sirup.

Sama halnya dengan kuliner, Betawi masih memiliki kesenian yang harus dan perlu dijaga dan dilestarikan hingga saat ini. Di Perkampungan Budaya Betawi ini, terdapat beberapa kegiatan kesenian yang ada dan sering diselenggarakan seperti berbagai macam tarian Betawi, lenong, marawis, dan pencak silat. Kegiatan yang tidak selalu di adakan  namun jika ada, pertunjukan akan diselenggarakan  pada hari Sabtu dan Minggu sini, dilakukan sesuai jadwal yang telah ditentukan sebelumnya.

Pas sekali, saat saya berkunjung ternyata di dinding telah terpampang  jadwal pertunjukan yaitu pertunjukan kesenian Wayang Kulit Betawi. Awalnya saya berpikir bahwa pertunjukan wayang kulit Betawi sama saja dengan wayang kulit Jawa. Namun, yang mebuat kesenian wayang ini berbeda adalah dari segi dalang yang memainkan, tidak terlihat secara visual seperti wayang Jawa pada umumnya. Dan juga bahan wayang yang digunakan pun tidak terbuat dari kulit sapi, tetapi terbuat dari kayu.

Merasa puas telah mengitari seluruh kawasan Perkampungan Budaya Betawi dan mendapatkan informasi tentang Budaya Betawi yang terletak di Jl. Moch Kahfi II, Setu Babakan Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan ini, akhirnya saya pun memutuskan  untuk kembali pulang kerumah. 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Dengan menyusuri jalan perumahan yang mengantarkan saya ke ujung jalan besar, untuk menunggu dan menaiki kendaraan umum yang sama seperti awal pertama datang ke tempat ini. Saya pun merasa senang dan ingin mengunjungi tempat ini lagi suatu hari nanti untuk melihat kesenian dan tradisi Betawi lainnya.


No comments:

Post a Comment