Lenteng agung,
Setu, Setu, Setu..
Tahaaan! Tariiik pirrr....
Dengan menempuh
perjalanan selama kurang lebih dua jam dengan menaiki kendaraan umum, akhirnya
tibalah saya ditempat yang dituju. Disambut dengan gapura yang berdiri kokoh
dan memiliki unsur ukir yang khas dari budaya Betawi yang bertuliskan “Pintu
Masuk 1 Gang Pitung Perkampungan Budaya Betawi - Setu Babakan”
Perjuangan pun
tidak berhenti sampai dengan menaiki kendaraan umum selama dua jam saja. Sesampainya
di depan gapura saya masih harus berjalan menyusuri dan melewati komplek
perumahan yang notabene semua
rumahnya memiliki sentuhan gaya rumah khas Betawi, entah itu dari unsur pagar
maupun atap rumahnya yang terbuat dari kayu ukir. Dan juga tidak lupa,
disetiap teras rumah penduduk sekitar juga terdapat beberapa kursi dengan meja
ditengahnya mirip seperti yang ada pada rumah ‘Si Doel”
salah satu tontonan televisi, jika kita pernah melihatnya.
“Ini sih
biasanya dipake untuk santai, kalo kagak buat ngejamu tamu yang suka dateng
sewaktu-waktu”, ujar Jaka, salah satu pemilik rumah bergaya Betawi itu.
Untuk menuju
Setu (semacam waduk atau danau), saya masih harus menempuh jalanan kira-kira
100 meter dengan berjalan kaki agar dapat melihat Setu seperti yang
disebut-sebut itu. Perjalanan pun dilanjutkan dengan menyusuri jalanan yang
cukup mulus dan melewati rumah-rumah yang letaknya berdampingan dan berjajar
rapih.
Saya pun
disuguhkan dengan pemandangan rumah-rumah mulai dari yang berukuran kecil
hingga rumah yang berukuran besar yang telah direnovasi dan sudah bergaya
modern akan tetapi tidak dengan meninggalkan unsur budaya Betawinya.
Ditengah
perjalanan menuju Setu, saya melihat salah satu sudut lahan komplek berpagar yang
masih kosong sedang membangun beberapa rumah khas Betawi yang dibangun dengan
ukuran tinggi seperti miniatur rumah adat yang ada di TMII(Taman Mini Indonesia
Indah).
Setelah
menyusuri jalanan yang membutuhkan waktu
sekitar 15 menit tersebut, tanpa terasa saya sudah berada di depan Setu yang
dimaksud. Ya Setu Babakan. Setu yang merupakan danau buatan tersebut mempunyai
lebar seluas ± 30 hektar dengan kedalaman mencapai 1 hingga 5 meter.
Setu yang
terletak di kawasan Srengseng Sawah, Jagakarsa ini memiliki fungsi juga selain
sebagai pusat Perkampungan Budaya Betawi. Tempat ini difungsikan sebagai tempat
wisata alternatif bagi masyarakat Jakarta.
Perkampungan
Budaya Betawi ini dibangun melalui usul yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh Betawi
maupun seniman kepada Badan Musyawarah Masyarakat Betawi. Kemudian Badan
Musyawarah Masyarakat Betawi mengusulkan ke Pemerintah DKI Jakarta.
Dan akhirnya,
pada bulan Oktober tahun 2000 lah pembangunan untuk Perkampungan Budaya Betawi
dilaksanakan. Kemudian pada tanggal 20 Januari 2001 diresmikan oleh
Gubernur DKI Jakarta yaitu Bapak Sutiyoso atau yang lebih akrab dipanggil Bang
Yos tersebut.
Setu Babakan
yang terhubung dengan Setu Mangga Bolong ini juga telah memiliki UU Perda DKI
Jakarta No.3 Tahun 2005 yang menyebutkan
bahwa Perkampungan Budya Betawi adalah suatu kawasan di Jakarta dengan
komunitas yang ditumbuh kembangkan budaya Betawi yang meliputi seluruh hasil
gagasan dan karya baik fisik maupun non fisik yaitu kesenian, adat isitiadat
foklore kesastraan dan kebhasaan, kesejarahan serat berbagai bangunan yang
bercirikan kebetawian.
“Sebelum ini
dibangun, sebenernya ada lima lokasi yang dijadiin pertimbangan. Itu di kawasan
Marunda, Kemayoran, Condet, Srengseng yang di Jakarta Barat sama disini ini.”
ujar Indra selaku pengurus kawasan Setu Babakan.
Puas menikmati
udara yang masih segar dan tidak berpolusi, saya pun menikmati pemandangan
sekitar setu yang masih rindang tersebut karena masih banyak dikelilingi oleh
pohon-pohon yang berukuran cukup besar.
Saat mengarahkan
pandangan ke berbagai sudut, mata saya pun dikejutkan dengan berbagai macam
sepeda dengan bentuk binatang air yang dapat ditumpangi oleh 2 orang saja.
Ternyata setu ini juga memanfaatkan tempat untuk menawarkan para pengunjungnya
utnuk berwisata air.
Rupanya setu ini
memanfaatkan wisata air dengan berbagai macam fasilitas seperti, sepeda air
(seperti yang saya lihat), perahu naga, memancing dan olahraga kano.
Selain memiliki
beragam khas kesenian dan kuliner, adat Betawi juga memiliki beberapa tahapan pada proses
pernikahan, jika sepasang kekasih ingin
menikah. Pada pernikahan dalam kebudayaan Betawi, terdapat satu macam makanan
khas yang tidak boleh tertinggal yaitu, roti buaya yang selalu dibawa pada saat
seserahan dimana seorang laki-laki melamar pasangannya. Konon roti buaya
tersebut menandakan bahwa calon suami istri tersebut harus bisa setia layaknya
buaya dan cukup menikah sekali seumur hidup.
Pada tahap
pertama yaitu disebut Ngedelengin atau yang
biasa dikenal dengan Mak Comblang. Tahapan ini memiliki makna yaitu
sebelum adanya pernikahan, ada baiknya jika terdapat perkenalan antara keluarga
pria dan keluarga satu sama lain. Perkenalan keluarga tersebut tidak terjadi dengan
sendirinya melainkan dengan bantuan seseorang yang menjadi Mak Comblang. Mak
Comblang akan ikut serta juga saat pihak dari keluarga pria datang kerumah
calon wanitanya.
Disini lah Mak
Comblang bertugas memberikan uang sembe
atau yang biasa dikenal dengan istilah angpao kepada calon istri. Jika telah
terdapat persetujuan antara keluarga wanita dan keluarga pria, maka sampailah
pada penentuan waktu lamaran. Dalam hal ini, Mak Comblang lah yang mengurus
kapan dan apa saja yang menajdi barang bawaan pada saat waktu lamaran.
Kemudian tahap
yang selanjutnya adalah tahap kedua. Pada tahap ini terjadilah pihak keluarga
pria meminta izin kepada pihak keluarga wanita untuk melamar anaknya tersebut.
Di tahap ini juga terdapat persyaratan untuk calon mempelai wanita.
Persyaratannya, calon mempelai wanita harus sudah tamat dalam membaca Al-quran.
Di tahap ini juga, Mak Comblang tetap hadir serta wakil orangtua dari mempelai
pria yang terdiri dari sepasang wakil dari keluarga ibu dan keluarga bapak.
Selanjutnya pada
tahap ketiga terdapat tradisi Bawa Tande Putus. Di tahap ini bukan berarti hubungan
yang akan dilanjutkan ke acara pernikahan antara pria dan wanita tak jadi. Akan
tetapi Tande Putus adalah tahapan dimana mempelai pria memberikan sebuah barang atau cincin belah rotan sebagai
tanda bahwa tidak ada seorang pria manapun yang boleh mengganggu gugat mempelai
wanita. Setelah tahap ketiga berakhir, barulah adanya acara Akad Nikah.
Sebelum akad nikah
dilaksanakan, mempelai wanita harus “di piare”(di piara). Maksudnya disini
adalah mempelai wanita harus dipelihara oleh tukang rias dengan maksud dan
tujuan setiap kegiatan atau hal apapun yang dilakukan oleh mempelai wanita
dapat terkontrol dengan baik, mulai dari segi kesehatan dan kecantikan menuju
acara akad nikah.
Selain itu, ada
juga satu acara dimana mempelai wanita dimandikan dengan cara dilulur kemudian
acara Tangas atau Kum yang bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa lulur dan
yang terakhir adalah acara Ngerik atau Malam Pacar dimana mempelai wanita
memerahkan kuku tangan dan kaki dengan menggunakan pacar.
Setelah semua
acara diatas selesai, barulah dilaksanakannya Akad Nikah. Sebelum memasuki
rumah mempelai wanita, ada satu tradisi yang disebut Palang pintu. Tradisi ini
merupakan gerakan silat yang dilakukan oleh Bapak dari mempelai wanita dan juga
pria.
Baju yang
dikenakan pada saat akad nikah pun juga menjadi tradisi . mempelai wanita
menggunakan baju kurung yang padukan dengan selendang serta sarung songket.
Kemudian kepala mempelai wanita juga dihias dengan sanggul sawi yang di beri
lima buah kembang goyang (sesuai dengan nama salah satu kuliner khas Betawi)
serta burung Hong. Di dahi mempelai wanita juga terdapat gambar hiasan bulan
sabit berwarna merah yang memiliki arti bhawa mempelai wanita masih gadis.
Tak mau kalah penampilan
juga dengan mempelai wanita, mempelai pria pun juga diharuskan menggunakan baju
tradisi yang telah ditentukan seperti memakai Jas Rebet serta bawahan sarung
Plakat, hem dan tak lupa hiasan kepala yaitu kopiah. Selain itu, ada juga
busana Jubah Arab yang dikenakan saat resepsi berlangsung. Dikenakannya Jubah
Arab, baju Gamis dan elendang yang panjang sisinya dari kiri ke kanan memiliki
arti tersendiri, yaitu sebuah harapan agar rumah tangga kedua mempelai selalu
damai.
Setelah
mengitari jalanan yang cukup luas dan lebar disekitar Setu. Disana saya melihat
banyak sekali penjual makanan yang sangat berjajar teratur di seberang pinggir
Setu. Bukan sembarang makanan ataupun minuman yang mereka jajakan, tetapi
makanan dan minuman khas Betawi lah yang akan mereka tawarkan kepada kita sebagai pengunjung yang baru datang ke tempat
tersebut.
Banyak makanan
khas Betawi yang dikenal, tetapi salah satu kuliner yang paling banyak dicari oleh pengunjung dan telah
menjadi simbol makanan khas betawi
setiap tahunnya di salah satu arena yaitu
PRJ adalah Kerak Telor. Asal muasal kerak telor sendiri sudah ada dari
zaman Belanda ( saat itu Jakarta masih bernama Batavia). Sudah tidak perlu ditanyakan lagi bahan utama apa
yang dibutuhkan untuk membuat makanan tersebut. Ya, tentunya telor ayam atau
bebek, kemudian tidak lupa dicampur dengan nasi ketan dan kelapa parut, karena
pada saat itu (zaman Belanda) kelapa
menjadi salah satu komoditi utama. Harga yang ditawarkan pun juga bervariasi.
“Pake telor ayam
12ribu, kalo telor bebek 13ribu neng. Mau pesen yang mana?” ujar Hasan saat
menawarkan makanan yang dijajakannya itu.
“Pesen dua ya
bang. Pake telor ayam aja deh” jawab saya setelah memutuskan untuk memesan.
Selain kerak
telor sebagai makanan khas, ada pula minuman yang juga menjadi khas dari budaya
Betawi itu sendiri. Apalagi kalau bukan Bir Pletok. Minuman yang terbuat dari
100 persen bahan alami tersebut dibuat dari Jahe, Cengkeh, Daun Pandan, Secang,
Batang Sereh, Gula dan Garam yang dicampur menjadi satu hingga menghasilkan
sari (air) saat direbus dan kemudian dikemas dalam botol kaca yang serupa
dengan botol sirup.
Sama halnya
dengan kuliner, Betawi masih memiliki kesenian yang harus dan perlu dijaga dan
dilestarikan hingga saat ini. Di Perkampungan Budaya Betawi ini, terdapat
beberapa kegiatan kesenian yang ada dan sering diselenggarakan seperti berbagai
macam tarian Betawi, lenong, marawis, dan pencak silat. Kegiatan yang tidak
selalu di adakan namun jika ada,
pertunjukan akan diselenggarakan pada
hari Sabtu dan Minggu sini, dilakukan sesuai jadwal yang telah ditentukan
sebelumnya.
Pas sekali, saat
saya berkunjung ternyata di dinding telah terpampang jadwal pertunjukan yaitu pertunjukan kesenian
Wayang Kulit Betawi. Awalnya saya berpikir bahwa pertunjukan wayang kulit
Betawi sama saja dengan wayang kulit Jawa. Namun, yang mebuat kesenian wayang
ini berbeda adalah dari segi dalang yang memainkan, tidak terlihat secara
visual seperti wayang Jawa pada umumnya. Dan juga bahan wayang yang digunakan
pun tidak terbuat dari kulit sapi, tetapi terbuat dari kayu.
Merasa puas
telah mengitari seluruh kawasan Perkampungan Budaya Betawi dan mendapatkan
informasi tentang Budaya Betawi yang terletak di Jl. Moch Kahfi II, Setu
Babakan Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan ini, akhirnya
saya pun memutuskan untuk kembali pulang
kerumah.
Dengan menyusuri
jalan perumahan yang mengantarkan saya ke ujung jalan besar, untuk menunggu dan
menaiki kendaraan umum yang sama seperti awal pertama datang ke tempat ini. Saya
pun merasa senang dan ingin mengunjungi tempat ini lagi suatu hari nanti untuk
melihat kesenian dan tradisi Betawi lainnya.
No comments:
Post a Comment