Wednesday, June 19, 2013

BERKISAH DARI SEORANG GURU


BERKISAH DARI SEORANG GURU

Hanya mengaku suka dengan anak-anak dan pintar saja, tak cukup untuk kita mampu mendidik seorang anak. Hal itu diakui oleh seorang Ibu dua anak yang menjadi salah satu relawan bersama teman-temannya membangun sebuah tempat pendidikan untuk anak-anak yang menurut SISDIKNAS pada UU SISDIKNAS No.20/2003 ayat satu adalah usia 0-6 tahun,di sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di daerah Bekasi.
Rini Mulyani, wanita berdarah sunda ini sudah kurang lebih dua tahun mengajar sebagai guru PAUD dengan dasar sosial untuk membantu anak-anak yang tidak mampu untuk masuk sekolah pendidikananak-anak swasta yang ada. Di sekolah PAUD tempat ia mengajar, tidak dipungut biaya yang besar dan pengajar tidak diberi upah.
“Kami hanya membuaka sebuah tabungan untuk anak-anak dengan minimum 30 ribu rupiah per bulan, dan uang itu dipakai untuk fotocopy bahan bacaan anak dan liburan bersama setiap dua bulan sekali”, ujar Rini saat ditemui sedang menemani makan siang anak keduanya, Sasha.
Selama mengajar sebagai seorang guru PAUD, Rini mengalami hal-hal unik dengan anak-anak yang diajarnya. Mulai dari mengajar anak yang bandel dan sulit diatur hingga anak yang memiliki kebutuhan khusus. Menurut wanita kelahiran 19 Oktober 1972 ini, “Mengajar anak kecil zaman sekarang terlihat sulit dibanading saat saya melihat Ibu saya mendidik adik saya yan berumur 4 tahun”, tuturnya.
Mengajar anak-anak di usia dini seperti ini dibutuhkan kesabaran dan kecakaan khuusus. Sebal dan kesal dalam menghadapi anak-anak sudah menjadi biasa. Ketika rasa itu muncul, dia langsun bersabar dan memikirkan kemabli soal komitmentnya dalam mengajarkan secara cuma-cuma dengan dasar sosial melalau bantuan mengajar di PAUD ini.
Pernah suatu hari, Rini mendapatkan seorang murid berkebutuhan khusus, yaitu murid yang mengidap penyakit autis. Anak berkebutuhan itu sebenarnya tidak masuk ke sekolah itu , melainkan masuk ke Sekolah anak berkebutuhan khusus agar dia mendapatkan pendidikan yang layak. Tapi, karena orang tua si anak tidak mampu untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut akibat kendala biaya, jadilah sekolah PAUD tempat Rini mengajar menerima anak tersebut.
Di suatu pagi, setelah semua anak selesai melakukan senam pagi. Anak tersebut kedapatan tengah mengacak-acak kelas dengan melepas dan merobek hasil karya gambar teman-temannya yang di tempel di dinding kelas. Rini yang melihat kejadian tersebut, langsung ber-istighfar sambil mengelus dada, “ Astaghfirullahaladziim”.
“Saya tidak bisa memarahi ataupun menegur anak tersebut, karena saya takut bertindak salah memperlakukan anak berkebutuhan khusus itu. Lebih baik, saya dan teman-teman guru lainnya menunggu hingga ia tenang dan kami bereskan bersama kelas yang sudah berantakan itu”, uajar Rini. 
Ibu dari Inez dan Sasha ini, selain sebagai guru di sekolah PAUD, Ia juga mengajar les untuka anak TK dan SD kelas 1-3 di rumahnya setiap sorenya. Pekerjaannya sebagai guru PAUD tidak membuatnya merasa terganggu dengan pekerjaannya sebagai Ibu rumah tangga juga. “Saya sih seneng-seneng aja ngejalaninnya, toh ini saya lakukan atas dasar sosial,” ujarnya.
Mengajar anak-anak kecil juga sempat membuatnya kalang kabut saat mengahadapi anak kecil yang sudah bisa mempermainkannya. Saat itu, kelas pagi tengah berlangsung, Ridho anak laki-laki yang paling aktif dikelas menolak untuk ikut belajar bersama teman-temannya di kelas. Dia lebih memilih untuk bermain di arena bermain sekolah. Saat itu Rini memintanya untuk segera masuk ke kelas.
 “Ridho, ayo ke kelas, belajar dulu, mainnya nanti lagi. Nanti kalau kamu main terus kamu gak bisa ikut berenang bareng temen-temen hari sabtu”, ujar Rini mengenang saat itu. “Gak mau bu guru, aku mau maen aja. Aku udah berenang kok kemaren sama mama-papa”, balas Ridho. “Berenangnya ini beda, nanti kita ke Galaxy*, ujar Rini. (* tempat berenang di daerah Bekasi). “Berenang kan sama aja, sama-sama maen air bu. Aku gak mau ah,” ujar Rini menirukan gaya bahasa Ridho saat itu.
Mengajar anak-anak kecil yang memiliki karakter yang berbeda-beda tak membuat ia menyerah untuk mendekatkan dirinya pada anak-anak. Pernah suatu hari ada murid baru, kembar perempuan. Sejak kedatangan kedua anak kembar itu hingga kini, Rini masih mengalami kesulitan dalam membedakan kedua anak itu, karena sangat-sangat kembar identik.
Saat itu, Rini mencoba untuk membedakan kedua anak itu dengan bertanya, “Mana yang namanya Nayla? Mana yang Kayla?”. Kedua anak tersebut diam. Rini semakin bingung karena tak ada jawaban dari anak tersebut. Ia pun mencoba lagi dengan pancingan sebuah permen lollipop yang ia siapkan di saku bajunya. “Kayla, ini permen buat kamu,” ujarnya saat itu sambil melihat satu per satu anak tersebut. Akhirnya yang mengaku sebagai Kayla, meraih permen dari tangannya.
Walaupun sudah dicoba demikian, Rini masih sering tidak bisa membedakanya. Pernah suatu hari saat jam pulang sekolah. Dia menghampiri Ibu dari Kayla dan Nayla. “Bu, bisa nggak, besok-besok mana yang Kayla dan mana yang Nayla dibikin perbedaan. Misal Nayla rambutnya dikuncir dan Kayla dipakein bando. Saya masih susah bedainnya,” Ujar Rini kepada Ibu si kembar yang hany dibalas dengan tertawa kecil mendengar keluhan guru anak kembarnya.
Masih banyak kisah-kisah menarik lainnya yang dialami Rini dalam mengajar sebagai guru PAUD. Baginya mengajar untuk sekolah sosial adalah perbuatan yang menyenangkan karena dapat membantu anak-anak yang membutuhkan pendidikan di usia dini dengan suka rela. Karena, walaupun masih banyak anak yang tidak bisa sekolah karena kesulitan biaya, ia dan teman-teman bisa membantu anak-anak tersebut dengan tindakan kecil ini. Semoga pemerintah mampu menyediakan sarana pendidikan yang dapat memudahkan masyarakat menengah ke bawah. Itu harapannya.




No comments:

Post a Comment