Wednesday, June 19, 2013

Cerita Dibalik Teriakan Reformasi

Oleh : Joshua Gunadhi

Will they open their eyes
And realize we are one
On and on we stand alone
Until our day has come

-          Open Your Eyes by Alter Bridge

Diatas adalah penggalan lirik lagu dari Band asal Amerika, Alter Bridge yang setiap kali saya mendengarkan lagi itu mengingatkan saya kepada peristiwa masa kecil yang saya alami, meski bukan dalam bentuk secara politik atau aktifis tapi peristiwa yang mengancam keamanan dan dampaknya sangat saya rasakan sampai saat ini.

Teriakan Reformasi ! Reformasi ! tidak lagi terdengar di televisi atau di jalanan seperti 15 tahun lalu. 15 tahun adalah waktu yang cukup lama, cukup lama sehingga bisa membuat orang seakan mudah berkata ‘ah, itu peristiwa dulu, yaudah lupain ajah’. Namun bagi sebagian orang 15 tahun lalu adalah waktu dimana mata kecil seorang anak menatap dan merasakan yang dinamakan rasa tidak tentram dan ketakutan. Dan masa itu akan selalu diingatnya sampai sekarang. Detik ini. Saat ini. Mungkin puluhan ribu anak - anak yang sekarang ada di bangku Universitas merasakan apa yang saya rasakan.

15 Tahun lalu banyak orang hanya mendengar cerita soal apa yang terjadi. Banyak cerita soal pembunuhan Mahasiswa yang sampai sekarang belum ada kejelasan. Banyak cerita soal orang orang yang menjadi biang keladi di belakang kejadian itu yang sekarang mencalonkan diri menjadi pemimpin negara ini. Namun tidak ada yang lebih mudah diingat dan dikenang daripada cerita anak berumur 20 sampai 22 tahun bercerita soal apa yang mereka rasakan saat itu.

Mei 98 itu saya tidak mengerti apa yang terjadi yang saya tau hanya banyak hal seru dan aneh terjadi. Semua orang saling membantu satu sama lain, dalam hal positif ataupun negatif. Sebenarnya peristiwa ini terjadi dikarenakan Asia mengalami krisis finansial dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat orang mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998 yang dilakukan oknum kepolisian yang ngaku-nya melakukan penembakan peringatan dengan peluru karet, namun di hasil dokumentasi ialah peluru asli dan ditembakan searah horizontal.

Saat itu semua orang sibuk memandangi layar kaca televisi untuk mengikuti perkembangan berita. Jujur saat itu saya belum cukup dewasa untuk mengerti apa yang sedang terjadi, namun ayah saya tetap tidak beranjak dr kursi setiap pulang kantor saat sore hari. Berita setiap hari hampir memutarkan hal - hal yang sama namun tidak menghilangkan niat ayah saya untuk beranjak dr bangku kerajaannya sambil membuka sepatu kerjanya.

Beberapa hari kedepan adalah hari dimana detik detik terakhir saya di jengang kelompok bermain, atau bisa dibilang saya hampir atau sebentar lagi naik ke sekolah dasar di salah satu sekolah di daerah Mangga Besar. Maka rutinitas seperti biasa, seakan lupa dengan kejadian akhir - akhir itu kami sekeluarga siap - siap untuk kesekolah dan bekerja, karena ayah saya memang sangat komitmen dengan pekerjaannya. Ada apapun kalau bisa masuk, dan saya juga mau tidak mau harus rajin ke sekolah dalam keadaan apapun terkecuali sakit.

Seperti biasa, mobil Jeep Feroza Biru dipanasakan, pukul 6.15 kami sudah siap berangkat karena saya masuk pukul 7. Tidak seperti biasanya jalanan terlihat sepi dari PRJ ( Kemayoran , Benyamin Sueb ) sampai Gunung Sahari. Hari itu semakin aneh saat setelah rel kereta di industri itu sangat sepi sampai sampai seingatan saya jalanan kosong melompong, padahal itu biasanya jam jam macet.

Berbelok ke arah Gunung Sahari Raya didepan Hotel Sheraton Media saat itu, jalanan terlihat sangat sepi namun diujung jalan terlihat asap dan kumpulan pelajar berpakaian SMA dan beberapa mahasiswa beralmamater terlihat berombongan.  Ayah tetap tidak berfikir negatif namun sampainya dekat lampu merah menuju Kartini, mobil kami kena jatuhan batu yang berasal dari depan mobil kami, dan ternyata itu berasal dr sekelompok anak muda tadi, dan ayah spontan berteriak dan sampai sekarang saya masih ingat ‘wah gawat ! KERUSUHAN ini’.

Ayah dengan sepat membanting stir mobil dan memacu dengan kecepatan kencang menghindari kerusuhan untuk cepat cepat menuju rumah kami, dr bangku belakang mobil saya bisa lihat bagaimana para anak muda itu membakar beberapa tempat dah menjarahnya, dan sampai sekarang masih ada bekas gedung yang dijarah dan dibakar yang selalu menjadi pemacu ingatan saya soal peristiwa kala itu.

Sepanjang jalan ibu saya tidak berhenti memenjatkan doa. Saya yang saat itu masih mengenakan pakaian Kelompok Bermain hanya bisa diam melihat kepanikan kedua orang tua saya yang memang saat itu ‘Bantai Cina’ menjadi salah satu kata yang sangat mematikan bagi kami yang keturunan Cina atau kita disebut keturunan Tionghoa.

Sesampainya dirumah, tidak lupa kami langsung menyetel televisi untuk memantau perkembangan berita yang saat itu hanya kami bisa dengar dari radio. Ayah dan beberapa tetangga lainnya langsung berjaga - jaga di depan komplek, maklum kami tinggal dikawasan yang mayoritas berpenduduk keturunan Tionghoa. Meskipun memilliki mayoritas penduduk berketurunan Tionghoa ,tidak ada pergesekan antara kaum Tionghoa dan penduduk lokal, justru kami saling membantu satu sama lain untuk melindungi komplek perumahan kami ini.

Betolak jauh dari Jakarta Utara. Kita menuju ke Tangerang.

Temui, Faisal. Anak muda yang saat ini berumur 21 juga mengalami kejadian yang belum dia mengerti saat peristiwa mei 1998 terjadi.

Reformasi Besar besaran adalah kata kata yang muncul dari televisi maupun radio.
'saat itu saya di sekolah, ibu saya menelpon sekolah untuk segera memulangkan saya, jadinya saya pulang dengan becak serta guru saya yang mengantarkan saya, karena memang saat itu kelompok etnis Cina atau keturunan Tinghoa yang menjadi sasaran kekerasan, dan wajah saya memang masih oriental meski saya muslim' ujar Faisal, salah satu mahasiswa yang masa kecilnya diwarnai oleh peristiwa bersejarah itu.

'dirumah saya hanya mendengar soal Reformasi dan kerusuhan yang terjadi di TV dan radio, bahkan kalau diingat bapak bapak kepala keluarga sudah berjaga jaga di depan komplek dengan senjata masing masing untuk menjaga keamanan komplek' lanjut Faisal.

'banyak teriakan soal bantai Cina, bunuh Cina, atau hal hal yang memprovokasi untuk menyingkirkan etnis Cina namun nyatanya hal tersebut tdk terjadi di daerah sekitar saya, malah kami saling menjaga satu sama lain.' kenang Faisal.

Tidak hanya di Jakarta, Kerusuhan juga terjadi di Medan dan Surakarta.

Jujur saat itu saya melihat kepanikan dan rasa ketidaknyaman-an kita sebagai warga negara karena memang ini telah diluar ambang imajinasi saya mengenai kerusuhan karena pertempuran biasanya saya hanya lihat lewat film Power Rangers, dan saya masih saja mengharapkan adanya Pahlawan Kebenaran disaat seperti itu, namun nyatanya orang yang kita anggap sebagai pelindung ternyata biang keladi dari peristiwa ini.

Sepanjang hari kita mendengar sumpah serapah ke 2 Jendral yaitu Wiranto dan Prabowo serta tidak ketinggalan sumpah serapah kepada Soeharto. Reformasi saat itu menyatukan semua lapisan masyarakat untuk satu tujuan namun sayangnya melupakan satu hal yaitu merusak kesatuan bangsa dengan menyerang kaum keturunan Tionghoa.

Apakah Kami Takut ? Pasti.

Saya merupakan keturunan Tionghoa, banyak dari keluarga kami berfikir untuk pergi ke luar negeri, bahkan ada saudara bercerita kalau dia sudah sampai di Bandara namun terpaksa pulang karena Bandara sudah sangat amat penuh dengan manusia yang buru buru ingin meninggalkan Jakarta ke luar negeri. Harga tiket mahal bukan menjadi masalah, mereka rela menukar apapun yang mereka punya untuk bisa keluar dari kehancuran pada masa itu.

Ditelevisi saya bisa melihat banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Kelakuan biadab massa terhadap ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual-pun masih membekas diingatan saya karena saya melihat dari tangisan ibu saya setiap melihat berita. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai secara sadis, kemudian dibunuh. Dampaknya mungkin masih bisa kita rasakan sampai sekarang. Massa membuat para pemilik toko ketakutan dengan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi".

Tanyakan kepada wanita tionghoa setiap kali mereka berjalan di jalanan, pasti ada rasa tidak aman atau bahkan kita keturunan Tiongha pernah mendengar ‘kita tuh Cina, ngak mungkin bisa bersamaan dengan orang non Cina. Dari jaman Soekarno juga udah tau’. Bahkan hal tersebut diperparah dengan tindakan rasis yang beberapa lama lalu dilakukan oleh seorang publik figur yang melakukan rasis di sosial media yang ditunjukan ke wakil gubernur DKI Jakarta. Bahkan saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur kita juga bisa merasakan bagaimana sang calon wakil di tekan dr berbagai pihak dengan mengatas namakan etnis dan budaya.

Ketakutan saya saat itu tidak sampai ke masalah perselisihan antar etnis tapi saya hanya takut sesuatu terjadi kepada kedua orang tua saya. Saat itu ayah saya tiba tiba pergi keluar rumah untuk menjemput saudara kami yang tinggal di daerah Pademangan untuk mengamankan mereka. Ayah hanya bisa pulang bercerita betapa ngeri-nya pemandangan yang dia lihat saat menjemput saudara saya.

Toko dijarah, orang dipukuli, teriakan ‘Reformasi’ dimana mana, orang berbuat sesuatu diluar akal sehat. Mereka membakar, memukul dan melakukan kekerasan seakan kehilangan akal sehat. Apalagi di daerah Pademangan yang notaben penduduknya mayoritas keturunan Tionghoa, maka itu menjadi penyebab ketakutan kami. Karena letak Pademangan dengan Sunter hanya memakan waktu 10 menit.

Faisal kembali bercerita soal apa yang dia alami di Tangerang.

Hal serupa dialami saya di Sunter.

'Ibu saya menelfon keluarga kami untuk memastikan keamanan mereka, ada yang kuliah di bandung, di Trisakti dan keluar entah kemana. Kakak saya yang di Trisakti paling di kuatirkan keadaannya karena meski berjilbab wajahnya masih oriental sehingga orang tua sangat kuatir dengan keamanannya. Namun selagi saya nonton TV, ibu berkata kalau salah satu pacar kakaknya muncul di televisi sebagai salah satu aktifis saat itu' kenang Faisal sambil tersenyum.

'Menurut pengakuan kakak saya dibandung juga ada gerakan, anak muda diajak untuk menduduki gedung sate untuk mendukung gerakan Reformasi seperti di Jakarta.’

‘Saya keluar rumah banyak orang terlihat menjarah, namun lucunya ada orang yang saya kenal tidak lain tidak bukan adalah kakak pertama saya yang ikutan menjarah. Dia membawa sekardus isi pilox.' cerita Faisal sambil tertawa.

Pengalaman masa kecil yang tidak bisa dilupakan.

Saya juga masih ingat pengalamaan masa kacil saya yang tidak bisa saya lupakan saat Peristiwa Mei 1998.
Ayah saya menjadi oknum yang merasakan keuntungan penjarahan itu, secara dia berkerja di salah satu perusahaan asuransi.

Waktu itu sebelum terjadi kerusuhan, Rumah kami disantroni maling dan mengambil 2 buah VCD Player dan 1 Televisi. Sontak kami kelimpungan dengan kejadian itu padahal ibu saya sudah ada firasat, namun kami terlambat sepersekian detik karena saat ibu saya sampai dirumah, sang perampok sudah masuk kemobil dan memacu mobilnya kencang dari rumah kami.

Alhasil, kami dipinjami televisi oleh kakak perempuan ibu saya. Kami butuh sekali dengan televisi, karena memang televisi menjadi hiburan pokok saat itu setelah radio, belum ada internet dan lainnya. Kami menerima TV kecil untuk menjadi pelipur lara kami.

Sesaat setelah peristiwa reformasi, ayah saya bertolak ke kantor kemudian dia pulang kerumah dan membawa sebuah televisi 21 inch dengan keadaan kardur rusak dan ada bagian pecah di sepaker TV.
Ibu berkata ‘pap, itu dari mana’.

Dengan enteng ayah saya menjawab.

‘ini dari kantor, biasa orang kaya mengklaim kerusakan kecil, yaudah dilelang sama kantor, lumayan buat gantiin TV hilang.

Ternyata ada keuntungan untuk beberapa pihak dan saya mengalami, bahkan televisi itu masih ada sampai sekarang.

Saat itu, sepanjang hari kita mendengar sumpah serapah yang di teriakan masyarakat ke 2 Jendral yaitu Wiranto dan Prabowo serta tidak ketinggalan sumpah serapah kepada Soeharto. Reformasi saat itu menyatukan semua lapisan masyarakat untuk satu tujuan.

Saat itu kami kaum keturunan juga melakukan hal sama seperti kaum pribumi lakukan yaitu menuntut reformasi,namun bukan reformasi seperti sekarang. Satu tujuan yang menuju ke arah lebih baik, bukan dari paksaan atau dari keadaan tertekan karena tekanan dari atas bawah kiri kanan. Tapi karena kesadaran memang ingin membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.

Hikmah, Indonesia butuh satu moment dimana menyeragamkan satu tujuan. Itu menjadi tolak ukur kekuatan sebuah bangsa. Disini harusnya tujuannya pancasila, namun Pancasila semakin bias, dan Indonesia itu seperti tanpa tujuan. Namun saya dan kita yakin akan ada satu moment dimana Indonesia akan memiliki satu tujuan yang lebih besar dan baik dari Reformasi.

Sayangnya moment Reformasi waktu itu meningalkan bekas yang kurang layak dikenang sampai sekarang, apalagi oleh kaum keturunan.























Joshua Gunadhi
11140110222
Take Home Test UAS Penulisan Feature

Dosen : Bpk Samiaji Bintang.

No comments:

Post a Comment