Oleh : Joshua
Gunadhi
Will
they open their eyes
And
realize we are one
On
and on we stand alone
Until
our day has come
-
Open
Your Eyes by Alter Bridge
Diatas adalah penggalan lirik
lagu dari Band asal Amerika, Alter Bridge yang setiap kali saya mendengarkan
lagi itu mengingatkan saya kepada peristiwa masa kecil yang saya alami, meski
bukan dalam bentuk secara politik atau aktifis tapi peristiwa yang mengancam
keamanan dan dampaknya sangat saya rasakan sampai saat ini.
Teriakan Reformasi
! Reformasi ! tidak lagi terdengar di televisi atau di jalanan seperti 15 tahun
lalu. 15 tahun adalah waktu yang cukup lama, cukup lama sehingga bisa membuat
orang seakan mudah berkata ‘ah, itu peristiwa dulu, yaudah lupain ajah’. Namun
bagi sebagian orang 15 tahun lalu adalah waktu dimana mata kecil seorang anak
menatap dan merasakan yang dinamakan rasa tidak tentram dan ketakutan. Dan masa
itu akan selalu diingatnya sampai sekarang. Detik ini. Saat ini. Mungkin
puluhan ribu anak - anak yang sekarang ada di bangku Universitas merasakan apa
yang saya rasakan.
15 Tahun lalu
banyak orang hanya mendengar cerita soal apa yang terjadi. Banyak cerita soal
pembunuhan Mahasiswa yang sampai sekarang belum ada kejelasan. Banyak cerita
soal orang orang yang menjadi biang keladi di belakang kejadian itu yang
sekarang mencalonkan diri menjadi pemimpin negara ini. Namun tidak ada yang
lebih mudah diingat dan dikenang daripada cerita anak berumur 20 sampai 22
tahun bercerita soal apa yang mereka rasakan saat itu.
Mei
98 itu saya tidak mengerti apa yang terjadi yang saya tau hanya banyak hal seru
dan aneh terjadi. Semua orang saling membantu satu sama lain, dalam hal positif
ataupun negatif. Sebenarnya peristiwa ini terjadi dikarenakan Asia mengalami
krisis finansial dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat orang mahasiswa
Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998 yang
dilakukan oknum kepolisian yang ngaku-nya melakukan penembakan peringatan
dengan peluru karet, namun di hasil dokumentasi ialah peluru asli dan
ditembakan searah horizontal.
Saat itu semua
orang sibuk memandangi layar kaca televisi untuk mengikuti perkembangan berita.
Jujur saat itu saya belum cukup dewasa untuk mengerti apa yang sedang terjadi,
namun ayah saya tetap tidak beranjak dr kursi setiap pulang kantor saat sore
hari. Berita setiap hari hampir memutarkan hal - hal yang sama namun tidak
menghilangkan niat ayah saya untuk beranjak dr bangku kerajaannya sambil
membuka sepatu kerjanya.
Beberapa hari
kedepan adalah hari dimana detik detik terakhir saya di jengang kelompok
bermain, atau bisa dibilang saya hampir atau sebentar lagi naik ke sekolah
dasar di salah satu sekolah di daerah Mangga Besar. Maka rutinitas seperti
biasa, seakan lupa dengan kejadian akhir - akhir itu kami sekeluarga siap -
siap untuk kesekolah dan bekerja, karena ayah saya memang sangat komitmen
dengan pekerjaannya. Ada apapun kalau bisa masuk, dan saya juga mau tidak mau
harus rajin ke sekolah dalam keadaan apapun terkecuali sakit.
Seperti biasa,
mobil Jeep Feroza Biru dipanasakan, pukul 6.15
kami sudah siap berangkat karena saya masuk pukul 7. Tidak seperti biasanya
jalanan terlihat sepi dari PRJ ( Kemayoran , Benyamin Sueb ) sampai Gunung
Sahari. Hari itu semakin aneh saat setelah rel kereta di industri itu sangat
sepi sampai sampai seingatan saya jalanan kosong melompong, padahal itu
biasanya jam jam macet.
Berbelok ke arah
Gunung Sahari Raya didepan Hotel Sheraton Media saat itu, jalanan terlihat
sangat sepi namun diujung jalan terlihat asap dan kumpulan pelajar berpakaian
SMA dan beberapa mahasiswa beralmamater terlihat berombongan. Ayah tetap tidak berfikir negatif namun
sampainya dekat lampu merah menuju Kartini, mobil kami kena jatuhan batu yang
berasal dari depan mobil kami, dan ternyata itu berasal dr sekelompok anak muda
tadi, dan ayah spontan berteriak dan sampai sekarang saya masih ingat ‘wah
gawat ! KERUSUHAN ini’.
Ayah dengan
sepat membanting stir mobil dan memacu dengan kecepatan kencang menghindari
kerusuhan untuk cepat cepat menuju rumah kami, dr bangku belakang mobil saya bisa
lihat bagaimana para anak muda itu membakar beberapa tempat dah menjarahnya,
dan sampai sekarang masih ada bekas gedung yang dijarah dan dibakar yang selalu
menjadi pemacu ingatan saya soal peristiwa kala itu.
Sepanjang jalan
ibu saya tidak berhenti memenjatkan doa. Saya yang saat itu masih mengenakan
pakaian Kelompok Bermain hanya bisa diam melihat kepanikan kedua orang tua saya
yang memang saat itu ‘Bantai Cina’ menjadi salah satu kata yang sangat mematikan
bagi kami yang keturunan Cina atau kita disebut keturunan Tionghoa.
Sesampainya
dirumah, tidak lupa kami langsung menyetel televisi untuk memantau perkembangan
berita yang saat itu hanya kami bisa dengar dari radio. Ayah dan beberapa
tetangga lainnya langsung berjaga - jaga di depan komplek, maklum kami tinggal
dikawasan yang mayoritas berpenduduk keturunan Tionghoa. Meskipun memilliki
mayoritas penduduk berketurunan Tionghoa ,tidak ada pergesekan antara kaum
Tionghoa dan penduduk lokal, justru kami saling membantu satu sama lain untuk
melindungi komplek perumahan kami ini.
Betolak jauh
dari Jakarta Utara. Kita menuju ke Tangerang.
Temui, Faisal.
Anak muda yang saat ini berumur 21 juga mengalami kejadian yang belum dia
mengerti saat peristiwa mei 1998 terjadi.
Reformasi Besar
besaran adalah kata kata yang muncul dari televisi maupun radio.
'saat
itu saya di sekolah, ibu saya menelpon sekolah untuk segera memulangkan saya, jadinya
saya pulang dengan becak serta guru saya yang mengantarkan saya, karena memang
saat itu kelompok etnis Cina atau keturunan Tinghoa yang menjadi sasaran
kekerasan, dan wajah saya memang masih oriental meski saya muslim' ujar Faisal,
salah satu mahasiswa yang masa kecilnya diwarnai oleh peristiwa bersejarah itu.
'dirumah
saya hanya mendengar soal Reformasi dan kerusuhan yang terjadi di TV dan radio,
bahkan kalau diingat bapak bapak kepala keluarga sudah berjaga jaga di depan
komplek dengan senjata masing masing untuk menjaga keamanan komplek' lanjut
Faisal.
'banyak
teriakan soal bantai Cina, bunuh Cina, atau hal hal yang memprovokasi untuk
menyingkirkan etnis Cina namun nyatanya hal tersebut tdk terjadi di daerah
sekitar saya, malah kami saling menjaga satu sama lain.' kenang Faisal.
Tidak
hanya di Jakarta, Kerusuhan juga terjadi di Medan dan Surakarta.
Jujur
saat itu saya melihat kepanikan dan rasa ketidaknyaman-an kita sebagai warga
negara karena memang ini telah diluar ambang imajinasi saya mengenai kerusuhan
karena pertempuran biasanya saya hanya lihat lewat film Power Rangers, dan saya
masih saja mengharapkan adanya Pahlawan Kebenaran disaat seperti itu, namun
nyatanya orang yang kita anggap sebagai pelindung ternyata biang keladi dari
peristiwa ini.
Sepanjang
hari kita mendengar sumpah serapah ke 2 Jendral yaitu Wiranto dan Prabowo serta
tidak ketinggalan sumpah serapah kepada Soeharto. Reformasi saat itu menyatukan
semua lapisan masyarakat untuk satu tujuan namun sayangnya melupakan satu hal
yaitu merusak kesatuan bangsa dengan menyerang kaum keturunan Tionghoa.
Apakah
Kami Takut ? Pasti.
Saya
merupakan keturunan Tionghoa, banyak dari keluarga kami berfikir untuk pergi ke
luar negeri, bahkan ada saudara bercerita kalau dia sudah sampai di Bandara
namun terpaksa pulang karena Bandara sudah sangat amat penuh dengan manusia yang
buru buru ingin meninggalkan Jakarta ke luar negeri. Harga tiket mahal bukan
menjadi masalah, mereka rela menukar apapun yang mereka punya untuk bisa keluar
dari kehancuran pada masa itu.
Ditelevisi
saya bisa melihat banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh massa—terutama
milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Kelakuan biadab massa terhadap
ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan
seksual-pun masih membekas diingatan saya karena saya melihat dari tangisan ibu
saya setiap melihat berita. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai secara
sadis, kemudian dibunuh. Dampaknya mungkin masih bisa kita rasakan sampai
sekarang. Massa membuat para pemilik toko ketakutan dengan menulisi muka toko
mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi".
Tanyakan
kepada wanita tionghoa setiap kali mereka berjalan di jalanan, pasti ada rasa
tidak aman atau bahkan kita keturunan Tiongha pernah mendengar ‘kita tuh Cina,
ngak mungkin bisa bersamaan dengan orang non Cina. Dari jaman Soekarno juga
udah tau’. Bahkan hal tersebut diperparah dengan tindakan rasis yang beberapa
lama lalu dilakukan oleh seorang publik figur yang melakukan rasis di sosial
media yang ditunjukan ke wakil gubernur DKI Jakarta. Bahkan saat pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur kita juga bisa merasakan bagaimana sang calon wakil
di tekan dr berbagai pihak dengan mengatas namakan etnis dan budaya.
Ketakutan
saya saat itu tidak sampai ke masalah perselisihan antar etnis tapi saya hanya
takut sesuatu terjadi kepada kedua orang tua saya. Saat itu ayah saya tiba tiba
pergi keluar rumah untuk menjemput saudara kami yang tinggal di daerah Pademangan
untuk mengamankan mereka. Ayah hanya bisa pulang bercerita betapa ngeri-nya
pemandangan yang dia lihat saat menjemput saudara saya.
Toko
dijarah, orang dipukuli, teriakan ‘Reformasi’ dimana mana, orang berbuat
sesuatu diluar akal sehat. Mereka membakar, memukul dan melakukan kekerasan
seakan kehilangan akal sehat. Apalagi di daerah Pademangan yang notaben
penduduknya mayoritas keturunan Tionghoa, maka itu menjadi penyebab ketakutan
kami. Karena letak Pademangan dengan Sunter hanya memakan waktu 10 menit.
Faisal
kembali bercerita soal apa yang dia alami di Tangerang.
Hal
serupa dialami saya di Sunter.
'Ibu
saya menelfon keluarga kami untuk memastikan keamanan mereka, ada yang kuliah
di bandung, di Trisakti dan keluar entah kemana. Kakak saya yang di Trisakti
paling di kuatirkan keadaannya karena meski berjilbab wajahnya masih oriental
sehingga orang tua sangat kuatir dengan keamanannya. Namun selagi saya nonton
TV, ibu berkata kalau salah satu pacar kakaknya muncul di televisi sebagai
salah satu aktifis saat itu' kenang Faisal sambil tersenyum.
'Menurut
pengakuan kakak saya dibandung juga ada gerakan, anak muda diajak untuk
menduduki gedung sate untuk mendukung gerakan Reformasi seperti di Jakarta.’
‘Saya
keluar rumah banyak orang terlihat menjarah, namun lucunya ada orang yang saya
kenal tidak lain tidak bukan adalah kakak pertama saya yang ikutan menjarah. Dia
membawa sekardus isi pilox.' cerita Faisal sambil tertawa.
Pengalaman
masa kecil yang tidak bisa dilupakan.
Saya
juga masih ingat pengalamaan masa kacil saya yang tidak bisa saya lupakan saat
Peristiwa Mei 1998.
Ayah saya menjadi
oknum yang merasakan keuntungan penjarahan itu, secara dia berkerja di salah
satu perusahaan asuransi.
Waktu
itu sebelum terjadi kerusuhan, Rumah kami disantroni maling dan mengambil 2
buah VCD Player dan 1 Televisi. Sontak kami kelimpungan dengan kejadian itu
padahal ibu saya sudah ada firasat, namun kami terlambat sepersekian detik
karena saat ibu saya sampai dirumah, sang perampok sudah masuk kemobil dan
memacu mobilnya kencang dari rumah kami.
Alhasil,
kami dipinjami televisi oleh kakak perempuan ibu saya. Kami butuh sekali dengan
televisi, karena memang televisi menjadi hiburan pokok saat itu setelah radio,
belum ada internet dan lainnya. Kami menerima TV kecil untuk menjadi pelipur
lara kami.
Sesaat setelah peristiwa reformasi, ayah saya bertolak ke kantor kemudian
dia pulang kerumah dan membawa sebuah televisi 21 inch dengan keadaan kardur
rusak dan ada bagian pecah di sepaker TV.
Ibu
berkata ‘pap, itu dari mana’.
Dengan
enteng ayah saya menjawab.
‘ini
dari kantor, biasa orang kaya mengklaim kerusakan kecil,
yaudah dilelang sama kantor, lumayan buat gantiin TV hilang.’
Ternyata ada keuntungan untuk beberapa pihak dan saya mengalami,
bahkan televisi itu masih ada sampai sekarang.
Saat
itu, sepanjang hari kita mendengar sumpah serapah yang di teriakan masyarakat
ke 2 Jendral yaitu Wiranto dan Prabowo serta tidak ketinggalan sumpah serapah
kepada Soeharto. Reformasi saat itu menyatukan semua lapisan masyarakat untuk
satu tujuan.
Saat
itu kami kaum keturunan juga melakukan hal sama seperti kaum pribumi lakukan
yaitu menuntut reformasi,namun bukan reformasi seperti sekarang. Satu tujuan
yang menuju ke arah lebih baik, bukan dari paksaan atau dari keadaan tertekan
karena tekanan dari atas bawah kiri kanan. Tapi karena kesadaran memang ingin
membuat segala sesuatu menjadi lebih baik.
Hikmah,
Indonesia butuh satu moment dimana menyeragamkan satu tujuan. Itu menjadi tolak
ukur kekuatan sebuah bangsa. Disini harusnya tujuannya pancasila, namun Pancasila
semakin bias, dan Indonesia itu seperti tanpa tujuan. Namun saya dan kita yakin
akan ada satu moment dimana Indonesia akan memiliki satu tujuan yang lebih
besar dan baik dari Reformasi.
Sayangnya
moment Reformasi waktu itu meningalkan bekas yang kurang layak dikenang sampai
sekarang, apalagi oleh kaum keturunan.
Joshua
Gunadhi
11140110222
Take Home
Test UAS Penulisan Feature
Dosen
: Bpk Samiaji Bintang.
No comments:
Post a Comment