Pagi itu angin bertiup cukup kencang di sekitar
kawasan Tangerang kota. Dari kejauhan tampak sesosok wanita berkaus hijau tua
dipadu dengan celana jeans belel tengah berkutat dengan gelas plastik dan
sebungkus kopi. Sekilas, wanita ini tampak seperti pedagang minuman keliling
biasa. Membawa beberapa kardus minuman botol dan termos diatas gerobak berwarna
oranye yang lebih mirip dengan rak bertuliskan “Teh Botol”. Tak lama kemudian,
gelas berisikan kopi sudah siap di tangan dan dia berikan kepada seorang pemuda
yang tengah duduk di trotoar. Semakin mendekat, wanita ini tersenyum kepada
saya. Dengan rambut terurai ala lady rocker era 90-an, saya tidak menyangka
perempuan yang biasa dikenal dengan nama Ida ini begitu baik dan ramah.
Disinilah saya menemukan pemandangan yang agak
berbeda dari biasanya. Dibawah kotak-kotak minuman yang dijualnya, terselip
sebuah tabung besar lengkap dengan selang panjang. Karena warna tabung yang
senada dengan warna rak, membuat saya tidak menyadari itu adalah tabung
kompresor. Ya, tabung yang dipakai untuk menambah angin pada ban motor itu
terletak persis dibawah minuman dagangan Ida. Sudah hampir 17 tahun ini Ida bekerja sebagai
“Montir” keliling untuk membantu suaminya memenuhi ekonomi keluarga.
“Awalnya suami yang profesinya seperti ini, dulu
suka bantu-bantu.. lama-lama ikut jatuh cinta sama kerjaan ini. Yang bikin
alat-alat ini juga suami saya, tapi karena penglihatan dia sudah mulai
berkurang, saya jadi mata dia dan lama-lama saya yang dominan bekerja.”
Bersama suaminya, Sutarya, mereka sejak dulu bekerja
sebagai montir. Akan tetapi, dahulu mereka menjalankan usahanya dengan menyewa
sebuah ruko. Sayangnya, karena semakin lama penghasilan yang didapat semakin
menipis, Ida dan suaminya beralih menjadi montir keliling hingga sekarang. Memiliki
enam orang anak membuat Ida mau tak mau harus ikut membantu suaminya demi
menambah penghasilan keluarga. Apalagi lima dari empat dari enam anaknya masih
membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit. Bahkan kini dapat dikatakan Ida
menjadi tulang punggung utama sejak kondisi kesehatan suaminya menurun.
Penghasilan yang didapatnya memang tidak besar.
Untuk menjadi montir atau perbaikan-perbaikan Ida mendapat Rp 100.000-Rp
150.000 perhari. Sedangkan dari hasil menjual minuman hanya sedikit, karena ida
menyajikan minuman-minuman itu untuk customernya.
“Paling buat orang2 yang tambal ban atau isi angin
disini kalau habis dorong2 motor kan capek, haus.. Cuma nyediain untuk itu aja
sih gak khususin jualan minuman.” Terangnya.
Setiap hari Ida dan suami mengawali perjalanan mencari
rezeki menuju Pizza Hut Tangerang City dengan menggunakan gerobak motor hasil
rancangan suami. Beruntung jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Kemudian
menjelang siang dia akan berpindah lokasi kedepan halte salah satu kampus yang
letaknya juga tidak jauh dari lokasi sebelumnya. Sementara itu, suaminya tidak
berpindah tempat. Selama bekerja, Ida acap kali membawa serta anak bungsunya,
Zaki yang masih balita, dan siangnya anak Ida yang masih duduk di bangku SMP
akan beralih menemaninya mangkal. Pasangan suami istri ini bekerja sejak pukul
enam pagi hingga pukul sepuluh sampai dua belas malam demi seperak-dua perak
uang.
Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi
wanita kelahiran Cirebon, 11 Juli 1970 ini dalam menjadi montir keliling.
Berbagai macam suka duka telah dia rasakan. Awal-awal bekerja sebagai montir,
salah satu perkakasnya pernah “mental” mengenai lehernya hingga dia pingsan
selama enam jam. Selain itu juga banyak orang yang mencemoohnya, merasa tidak
percaya dengan kemampuan Ida memperbaiki onderdil motor. Bahkan Ida terkadang disalahkan apabila ada
kerusakan yang bukan disebabkan olehnya.
“banyak pengalaman saya, kalau
diceritain nggak bakal habis satu buku. Kalau saya punya diary kayak anak-anak
sekarang mah mungkin udah abis..”
Resiko lain yang dihadapi oleh Ida selama bekerja
sebagai montir adalah berhadapan dengan Satpol PP. Maklum saja, sebagai montir
keliling ida tidak memiliki tempat mangkal yang tetap apalagi zurat izin. Jadi,
apabila satpol PP muncul, dia akan cepat-cepat kabur atau bersembunyi.
“Satpol PP musuh saya.. ya.. nggak nyalahin mereka
sih, mereka kan juga tugas.”
Namun, dibalik profesinya yang keras itu, Ida
memiliki sisi lain yang mengejutkan. Sebelum bekerja sebagai montir, ida
merupakan seorang ibu rumah tangga biasa yang merawat anak-anak dirumah.
Menariknya, ida memiliki hobi menulis puisi dan cerita. Dulu dia sering
mengirimkan karya-karyanya itu ke majalah-majalah lokal di Bandung yang lumayan
menghasilkan.
Kerinduan yang
sangat
Telah membuat
langkahku tertatih
Kesunyian taman
hati
Kini berhias
bayangan dirinya yang samar
Seperti
menungguku di ujung jalan sana….
Penggalan puisi
diatas merupakan buatan asli Ida yang dia persembahkan untuk idolanya,
Michael Jackson ketika King of Pop itu wafat pada 2009 lalu. Selain gemar
menulis puisi, Ida juga merupakan fans dari selebriti legendaris dunia itu
sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bahkan, saking terobsesinya,
Ida sempat mengikuti kursus bahasa Inggris selama satu tahun delapan bulan demi
mendalami Michael Jackson.
Sayangnya, sang suami kurang mendukung hobi ida ini.
Sutarya menganggap hal ini tidak berguna karena dia kurang paham dengan hal-hal
semacam ini.
Beruntungnya, Ida benar-benar seorang wanita dan
istri teladan. Tidak ada rasa menyesal pada dirinya karena dia tidak dapat
mengembangkan hal-hal yang dia sukai demi suami dan keluarga. Dia memegang
teguh prinsip dan tanggung jawabnya saat ini.
“Kalau bisa dibilang profesi ini jauh dari pribadi
saya, cita-cita saya. Tapi yang penting kita nikmatin..”
Ida merupakan satu dari skeian juta wanita di dunia
yang patut kita contoh. Sesulit apapun, suka atau tidak terhadap suatu hal,
yang penting kita harus ikhlas menjalaninya. Karena dengan keikhlasan segalanya
akan terasa lebih mudah dan ringan.
“Nikmati
kerjaan.. dan bolehlah emansipasi wanita, tapi di hal yang positif. Bukan
berarti kalau kita bergaul di jalanan kita juga harus ikut mabuk-mabukan”-Farida
Hamdini/Ida-
No comments:
Post a Comment