Wednesday, June 19, 2013

Bunda Karsiah, "Kasih Ibu Sepanjang Masa"

Raut kesedihan dan kekecewaan bercampur menjadi satu tatkala dia mengingat kembali tragedi itu. Terlalu dalam luka yang ditorehkan hingga sulit untuk disembuhkan. Inilah yang dirasakan oleh Karsiah selama lima belas tahun belakangan.
Sore itu langit tampak mendung, bersamaan dengan turunnya rintik-rintik hujan. Namun suasana itu tak lantas menyurutkan keinginan Karsiah untuk kembali kerumah. Dengan semangat, kaki mungilnya berjalan menyusuri  jalan besar dan kemudian masuk ke sebuah gang sempit yang padat dengan penghuni. Setelah kurang lebih lima belas menit berjalan, tibalah dia di sebuah rumah bercat kuning bertingkat satu.
Di dalam kamar berukuran tiga kali dua meter persegi, Karsiah yang biasa dipanggil ‘Bunda’ ini menetap. Dengan ukurannya yang terhitung kecil, kamar tersebut dipenuhi dengan berbagai barang. Mulai dari lemari, tempat tidur, televisi, dan pakaian-pakaian yang tergantung diluar lemari, membuat suasana kamar menjadi sesak. Tetapi disinilah bunda beristirahat, menghilangkan kepenatan selepas bekerja. Di salah satu bagian kamar, terpampang sebuah foto anak laki-laki berkacamata besar dengan senyum tersungging dari bibirnya. Foto itu sudah tampak sedikit usang, dilihat dari gaya anak tersebut jelas menunjukkan kesan oldies.
Dialah Hendriawan Sie, putra semata wayang bunda Karsiah yang telah tiada karena suatu peristiwa yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Peristiwa yang telah mengukir sejarah bagi bunda Karsiah dan bangsa Indonesia.
credit to: kabarkampus.com


Mei 1998…
Diawali dengan krisis finansial di Asia sejak 1997, perekonomian Indonesia pun turut terpengaruh dan menjadi goyah di awal 1998. Masyarakat yang awalnya hanya diam menerima kenyataan, mulai gerah dan menunjukkan aksi protesnya secara anarkis. Kerusuhan tak lagi dapat dicegah terutama di daerah besar seperti Jakarta, Bandung dan Surakarta. Selain karena faktor krisis ekonomi, kemarahan masyarakat pun meminta dengan paksa Soeharto untuk turun dari kedudukannya sebagai presiden RI saat itu.
Soeharto telah terpilih sebagai presiden RI sebanyak 32 kali, terhitung sejak 1967-1998. Selama itu banyak hal yang telah beliau perjuangkan untuk membuat Indonesia lebih baik lagi. Diantaranya adalah memberantas paham Komunis, mencanangkan program Keluarga Berencana, serta program wajib belajar sembilan tahun. Akan tetapi, dibalik itu semua permasalahan hukum serta kerugian lain yang ditimbulkan selama beliau menjadi pemimpin Negara memberikan dampak buruk bagi pemerintahan Indonesia. Oleh sebab itulah masyarakat sudah tidak dapat menahan kekecewaannya dan meledak-ledak menuntut adanya gerakan reformasi untuk memperbaiki pemerintahan dan perekonomian Negara.

12 mei 1998, kalangan mahasiswa bersimpati akan insiden kerusuhan yang terjadi kala itu. Mahasiswa Universitas Trisakti berinisiatif melakukan gerakan aksi damai. Aksi ini bertujuan untuk meredam kemarahan dan sikap anarkis massa. Namun, aksi mereka ini diblokade oleh Polri dan militer meskipun beberapa mahasiswa telah mencoba bernegoisasi. Sayangnya, diduga saat itu ada provokator yang memicu aparat melepaskan tembakannya ke arah mahasiswa yang tengah bergerak mundur kembali ke kampus. Aksi penembakan terus dilakukan oleh aparat hingga peluru-peluru kejam mereka mengenai empat mahasiswa Trisakti. Mereka adalah Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie yang merupakan anak kandung bunda Karsiah.
Semenjak peristiwa itu, kerusuhan besar berlangsung sepanjang 13-15 Mei 1998. Selama itu, toko-toko, pusat penjualan dan perusahaan dijarah, dihancurkan bahkan dibakar oleh massa. Mereka sudah tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan. Tidak peduli berapa dan siapa yang menjadi korban, bersalah ataupun tidak bersalah. Sasaran lain yang menjadi amuk massa saat itu yaitu warga dengan etnis Tionghoa. Mereka semua disiksa, diperkosa hingga dibunuh secara keji terutama kepada kaum wanita keturunan Tionghoa. Mereka menganggap semua yang ada di Indonesia ini hanyalah milik pribumi semata.

***
Tiga hari menjelang kejadian, bunda yang saat itu masih menetap di kalimantan sempat berpesan kepada anaknya, Hendriawan untuk tidak ikut-ikutan berdemonstrasi menuntut gerakan reformasi. Dia khawatir dan tahu bahayanya.
 “Aku saat itu sedang di Kalimantan, dapat telepon disuruh ke Jakarta sama iparku. Katanya, Anakmu masuk rumah sakit jatuh didorong temannya.” Jelas bunda dengan logat kalimantannya yang kental.
Astagfirullahaladzim! Rasa heran bercampur khawatir terus menghantui pikiran bunda. Dia tidak pernah menyangka anaknya tertimpa musibah seperti itu karena ia tahu sejak kecil Hendri tidak pernah berkelahi apalagi memiliki musuh. Hendri sangat suka berteman dengan siapa saja dan tidak suka kelayapan, sehabis kuliah jika sudah tidak ada kegiatan lagi dia pasti akan langsung pulang kerumah.
Firasat seorang ibu memang tidak pernah salah. Satu minggu sebelum peristiwa ini terjadi, bunda menelepon Hendriawan memberi kabar akan berkunjung ke Jakarta. Dan benar saja, bunda pergi ke Jakarta seminggu setelahnya namun untuk melihat anak semata wayangnya sudah dalam kondisi tak bernyawa.

Peluru tajam milik aparat keamanan yang tidak bertanggung jawab itu menghujam bagian leher Hendriawan Sie, 12 mei 1998 pukul 17.05. Lokasi dia tertembak berada di samping pos satpam dibalik gerbang perbatasan antara Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara. Berbeda dengan ketiga rekannya yang lain (Elang Mulya, Heri Hartanto dan Hafidin Royan) yang meninggal di lokasi kejadian, Hendri masih sadar dan bahkan berbicara selama beberapa saat.
“Panas..panas.. mamaku mana, mamaku mana..” itulah kata-kata yang diucapkan oleh Hendri sepanjang perjalanan menuju Rumah sakit. Namun sayang, darah yang tak berhenti mengalir dari leher dan mulutnya membuat Hendri harus menghembuskan nafas terakhirnya di usia 20 tahun.

Tidak ada kata yang dapat terucap dari bibir bunda begitu mengetahui putra tercintanya harus pergi mendahuluinya untuk selama-lamanya dengan cara yang cukup kejam. Setelah kepergian Hendriawan, ia harus berkali-kali dibawa ke psikolog karena psikologisnya mulai terganggu. Jika ada orang yang bertanya, bunda hanya bisa meneteskan airmata. Bunda juga sempat di rawat di Rumah Sakit selama beberapa hari karena tidak ada asupan makanan yang masuk kedalam tubuhnya. Karena yang bisa dia lakukan saat itu hanya menangis dan menangis...
“Harapan bunda satu-satunya sudah hilang yang tersisa hanya pakaian2nya saja” ucap bunda dengan mata berkaca-kaca sembari memandangi lemari berisi barang-barang peninggalan almarhum.
Tidak banyak barang yang ditinggalkan almarhum kecuali sedikit pakaian dan foto serta dompet berbentuk persegi berwarna hitam polos. Sementara pakaian serta barang peninggalannya saat tertembak di pajang dalam museum 12 Mei yang terletak di dalam kampus Trisakti.
Dalam dompet tersebut masih terdapat SIM (Surat Izin Mengemudi), Kwitansi serta foto seorang wanita yang ternyata adalah Liana, kekasih dari Hendriawan.
“Terakhir mau meninggal, sorenya jam 3 sebelum kuliah, dia kasih saputangan warna merah ke pacarnya itu..” kenang bunda. Selain itu ada sebatang korek kuping berwarna biru yang disimpan dalam dompet. Inilah kebiasaan Hendri saat sedang iseng yaitu mengorek telinganya hingga beberapa kali harus bolak-balik ke dokter THT.
“Kalau sudah diam ngorek-ngorek kupingnya, sudah asik sendiri dia itu..” tambah bunda sambil sesekali terkekeh.

Hendriawan Sie merupakan anak tunggal hasil pernikahan bunda Karsiah dengan Hendrik Sie. Ia lahir pada 3 Maret 1998 di Balikpapan. Sejak kecil Hendri telah menjadi kebanggaan untuk bunda. Almarhum senang mengikuti dan menjuarai peragaan busana serta berprestasi di bidang akademik. Karena itu, tidak heran jika Hendri mendapatkan beasiswa untuk menuntut ilmu di Universitas Trisakti dengan jurusan Ekonomi Manajemen di tahun 1996. Meskipun anak tunggal, tapi Hendri bukanlah anak manja. Sejak kecil ia bercita-cita ingin membuat kedua orangtuanya senang dan bangga terhadap dirinya.
“Dia itu senang ikut-ikut peragaan busana, modeling, jadi penerima tamu padahal bunda nggak pernah nyuruh..” jelasnya sembari membolak-balik album foto almarhum.

Entah sudah berapa ratus orang yang mendatangi bunda untuk menanyakan hal yang sama mengenai tragedi 1998 ini. Tapi bunda tidak pernah bosan dan dengan antusisas menceritakannya karena ia ingin masyarakat tahu apa yang telah terjadi sehingga mencapai reformasi. Terutama mengenai empat mahasiswa yang menjadi korban penembakan aparat pemerintahan.
***

Duka yang dirasakan oleh wanita berwajah oriental ini tidak berhenti sampai situ saja. Dua tahun sepeninggal anak semata wayangnya, tiba-tiba ada seorang wanita yang tengah hamil lima bulan mendatanginya dan mengatakan bahwa ia telah dihamili oleh suami bunda, Hendrik Sie. Musibah yang datang bertubi-tubi ini sangat mengguncang diri bunda. Alhasil, wanita kelahiran Tenggarong, 5 April 1963 ini memutuskan untuk berpisah dengan suaminya dan hidup seorang diri karena ia tidak ingin menjadi istri yang di poligami.
Tahun 2003, bunda ditawari untuk pindah ke Jakarta oleh rektor Universitas Trisakti. awalnya ia ragu untuk meninggalkan kampung halamannya di Balikpapan, karena jiwanya pun belum siap untuk menjumpai segala hal yang berkaitan dengan almarhum anaknya di Jakarta. Akhirnya dengan segala pertimbangan, bunda menyetujui tawaran tersebut. Terhitung sampai sekarang, bunda telah sepuluh tahun menempati rumah milik Trisakti yang letaknya di belakang universitas dan bekerja di koperasi Universitas Trisakti dari pukul tujuh pagi hingga empat sore. Setiap bulannya bunda mendapatkan upah sebesar Rp 800.000,00 dari hasil bekerja mengurus koperasi dan Rp 1000.000,00 sebagai uang jajan tetap yang diberikan oleh pihak rektorat Trisakti kepada bunda.

Dengan pindah dan bekerja di Jakarta kini bunda perlahan merasa terhibur. Ia sudah menganggap seluruh mahasiswa/i di Universitas Trisakti ini sebagai anak-anaknya bahkan banyak yang memanggilnya dengan sebutan ‘bunda’, ‘mama’ atau ‘mami’. Tidak jarang ada mahasiswa yang berbaik hati mengantar bunda pulang atau memberikan bunda makanan layaknya kepada orangtua mereka sendiri.
Alasan lain yang mengiringi kepindahan bunda Karsiah ke Jakarta adalah supaya ia dapat sering mengunjungi makam Hendriawan yang berlokasi di TPU Al Kamal, Kedoya. Selain itu, urusan yang berkaitan dengan penuntasan kasus Mei 98 ini harus melibatkan bunda. Bunda dan ketiga orangtua korban lainnya ingin mengungkap siapa dalang dibalik penembak yang telah menewaskan anak-anak mereka. Segala cara telah mereka tempuh. Sidang demi sidang, lembaga demi lembaga, diminta datang ke Komnas HAM, Kontras, Mahkamah Militer, Mahkamah Agung, DPR, dan terakhir  pada 22 mei 2013 lalu diundang ke Istana bertemu dengan bapak Dipo Alam selaku Sekertaris Kabinet untuk membicarakan kasus ini lebih lanjut. Namun sayangnya, sampai saat ini belum menemukan titik terangnya dan pemerintah membiarkan kasus ini bergulir hingga belasan tahun lamanya.
“Apapun akan aku lakukan demi mendapatkan keadilan HAM untuk anakku, disana..” itulah tekad bunda sampai kapanpun.

Meskipun demikian, bunda selalu bersyukur karena masih banyaknya pihak yang memberikan perhatian kepada dirinya. Buktinya, pada Agustus 2012 lalu bunda diberangkatkan ke tanah suci Mekkah untuk melaksanakan Umroh bersama dengan ketiga ibu korban yang lain oleh yayasan Trisakti. Selain itu, sebuah perkumpulan alumni Trisakti yang tergabung dalam PAPERTI (Paguyuban Persaudaraan Trisakti 12 mei 1998) memberikan hadiah berupa rumah tinggal di kawasan Nagrak, Ciangsana, Gunung Putri Bogor kepada keluarga korban termasuk bunda. Rencananya pada Agustus mendatang bunda akan mulai menempati rumah tersebut. Selain itu, bunda juga seringkali diikutsertakan dalam kegiatan mahasiswa di kampus terutama yang berkaitan dengan peristiwa 12 Mei.
“Kalau jalan yang terbaik untuk anak aku, ku ikutin. Tapi kalau jalan yang salah, siapapun yg undang aku, aku Tanya dulu. Tujuannya apa.” Tegas wanita berambut pendek ini.

Saat ini bunda karsiah memang hidup sendirian tanpa seorang suami dan anak. Tapi jiwanya tidak pernah patah semangat untuk mendapatkan keadilan HAM atas terbunuhnya Hendriawan Sie, buah hati tunggalnya lima belas tahun lalu. Dia terus berharap pemerintah akan membuka hati dan pikirannya untuk menuntaskan kasus ini.
Keinginan terbesarnya saat ini adalah ia ingin sekali bertemu dengan anaknya, Hendriawan meskipun hanya dalam mimpi. Putranya yang meskipun telah tiada tapi namanya akan harum abadi selamanya sebagai pejuang reformasi dengan gelar “Bintang Jasa Pratama”.

“Kemanapun mama melangkah, aku akan selalu ada untuk mama”-Alm. Hendriawan Sie (korban penembakan Trisakti 12 Mei 1998)

oleh: Eka Laili Rosidha-11140110141
Tugas Ujian Akhir Semester Penulisan Feature

No comments:

Post a Comment