Raut
kesedihan dan kekecewaan bercampur menjadi satu tatkala dia mengingat kembali
tragedi itu. Terlalu dalam luka yang ditorehkan hingga sulit untuk disembuhkan.
Inilah yang dirasakan oleh Karsiah selama lima belas tahun belakangan.
Sore
itu langit tampak mendung, bersamaan dengan turunnya rintik-rintik hujan. Namun
suasana itu tak lantas menyurutkan keinginan Karsiah untuk kembali kerumah.
Dengan semangat, kaki mungilnya berjalan menyusuri jalan besar dan kemudian masuk ke sebuah gang
sempit yang padat dengan penghuni. Setelah kurang lebih lima belas menit
berjalan, tibalah dia di sebuah rumah bercat kuning bertingkat satu.
Di
dalam kamar berukuran tiga kali dua meter persegi, Karsiah yang biasa dipanggil
‘Bunda’ ini menetap. Dengan ukurannya yang terhitung kecil, kamar tersebut dipenuhi
dengan berbagai barang. Mulai dari lemari, tempat tidur, televisi, dan
pakaian-pakaian yang tergantung diluar lemari, membuat suasana kamar menjadi
sesak. Tetapi disinilah bunda beristirahat, menghilangkan kepenatan selepas
bekerja. Di salah satu bagian kamar, terpampang sebuah foto anak laki-laki
berkacamata besar dengan senyum tersungging dari bibirnya. Foto itu sudah
tampak sedikit usang, dilihat dari gaya anak tersebut jelas menunjukkan kesan oldies.
Dialah
Hendriawan Sie, putra semata wayang bunda Karsiah yang telah tiada karena suatu
peristiwa yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Peristiwa yang telah mengukir
sejarah bagi bunda Karsiah dan bangsa Indonesia.
credit to: kabarkampus.com |
Mei 1998…
Diawali
dengan krisis finansial di Asia sejak 1997, perekonomian Indonesia pun turut
terpengaruh dan menjadi goyah di awal 1998. Masyarakat yang awalnya hanya diam
menerima kenyataan, mulai gerah dan menunjukkan aksi protesnya secara anarkis.
Kerusuhan tak lagi dapat dicegah terutama di daerah besar seperti Jakarta,
Bandung dan Surakarta. Selain karena faktor krisis ekonomi, kemarahan
masyarakat pun meminta dengan paksa Soeharto untuk turun dari kedudukannya
sebagai presiden RI saat itu.
Soeharto
telah terpilih sebagai presiden RI sebanyak 32 kali, terhitung sejak 1967-1998.
Selama itu banyak hal yang telah beliau perjuangkan untuk membuat Indonesia
lebih baik lagi. Diantaranya adalah memberantas paham Komunis, mencanangkan
program Keluarga Berencana, serta program wajib belajar sembilan tahun. Akan
tetapi, dibalik itu semua permasalahan hukum serta kerugian lain yang
ditimbulkan selama beliau menjadi pemimpin Negara memberikan dampak buruk bagi
pemerintahan Indonesia. Oleh sebab itulah masyarakat sudah tidak dapat menahan
kekecewaannya dan meledak-ledak menuntut adanya gerakan reformasi untuk
memperbaiki pemerintahan dan perekonomian Negara.
12
mei 1998, kalangan mahasiswa bersimpati akan insiden kerusuhan yang terjadi
kala itu. Mahasiswa Universitas Trisakti berinisiatif melakukan gerakan aksi
damai. Aksi ini bertujuan untuk meredam kemarahan dan sikap anarkis massa.
Namun, aksi mereka ini diblokade oleh Polri dan militer meskipun beberapa
mahasiswa telah mencoba bernegoisasi. Sayangnya, diduga saat itu ada provokator
yang memicu aparat melepaskan tembakannya ke arah mahasiswa yang tengah
bergerak mundur kembali ke kampus. Aksi penembakan terus dilakukan oleh aparat
hingga peluru-peluru kejam mereka mengenai empat mahasiswa Trisakti. Mereka
adalah Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie
yang merupakan anak kandung bunda Karsiah.
Semenjak
peristiwa itu, kerusuhan besar berlangsung sepanjang 13-15 Mei 1998. Selama
itu, toko-toko, pusat penjualan dan perusahaan dijarah, dihancurkan bahkan
dibakar oleh massa. Mereka sudah tidak lagi memiliki rasa kemanusiaan. Tidak peduli
berapa dan siapa yang menjadi korban, bersalah ataupun tidak bersalah. Sasaran lain
yang menjadi amuk massa saat itu yaitu warga dengan etnis Tionghoa. Mereka semua
disiksa, diperkosa hingga dibunuh secara keji terutama kepada kaum wanita
keturunan Tionghoa. Mereka menganggap semua yang ada di Indonesia ini hanyalah
milik pribumi semata.
***
Tiga
hari menjelang kejadian, bunda yang saat itu masih menetap di kalimantan sempat
berpesan kepada anaknya, Hendriawan untuk tidak ikut-ikutan berdemonstrasi
menuntut gerakan reformasi. Dia khawatir dan tahu bahayanya.
“Aku saat itu sedang di Kalimantan, dapat
telepon disuruh ke Jakarta sama iparku. Katanya, Anakmu masuk rumah sakit jatuh didorong temannya.” Jelas bunda
dengan logat kalimantannya yang kental.
Astagfirullahaladzim! Rasa heran bercampur khawatir terus menghantui pikiran
bunda. Dia tidak pernah menyangka anaknya tertimpa musibah seperti itu karena
ia tahu sejak kecil Hendri tidak pernah berkelahi apalagi memiliki musuh.
Hendri sangat suka berteman dengan siapa saja dan tidak suka kelayapan, sehabis
kuliah jika sudah tidak ada kegiatan lagi dia pasti akan langsung pulang
kerumah.
Firasat
seorang ibu memang tidak pernah salah. Satu minggu sebelum peristiwa ini terjadi,
bunda menelepon Hendriawan memberi kabar akan berkunjung ke Jakarta. Dan benar
saja, bunda pergi ke Jakarta seminggu setelahnya namun untuk melihat anak semata
wayangnya sudah dalam kondisi tak bernyawa.
Peluru tajam milik aparat keamanan yang tidak bertanggung
jawab itu menghujam bagian leher Hendriawan Sie, 12 mei 1998 pukul 17.05. Lokasi
dia tertembak berada di samping pos satpam dibalik gerbang perbatasan antara
Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara. Berbeda dengan ketiga
rekannya yang lain (Elang Mulya, Heri Hartanto dan Hafidin Royan) yang
meninggal di lokasi kejadian, Hendri masih sadar dan bahkan berbicara selama beberapa
saat.
“Panas..panas.. mamaku mana, mamaku mana..” itulah
kata-kata yang diucapkan oleh Hendri sepanjang perjalanan menuju Rumah sakit. Namun
sayang, darah yang tak berhenti mengalir dari leher dan mulutnya membuat Hendri
harus menghembuskan nafas terakhirnya di usia 20 tahun.
Tidak
ada kata yang dapat terucap dari bibir bunda begitu mengetahui putra
tercintanya harus pergi mendahuluinya untuk selama-lamanya dengan cara yang
cukup kejam. Setelah kepergian Hendriawan, ia harus berkali-kali dibawa ke
psikolog karena psikologisnya mulai terganggu. Jika ada orang yang bertanya,
bunda hanya bisa meneteskan airmata. Bunda juga sempat di rawat di Rumah Sakit
selama beberapa hari karena tidak ada asupan makanan yang masuk kedalam
tubuhnya. Karena yang bisa dia lakukan saat itu hanya menangis dan menangis...
“Harapan
bunda satu-satunya sudah hilang yang tersisa hanya pakaian2nya saja” ucap bunda
dengan mata berkaca-kaca sembari memandangi lemari berisi barang-barang
peninggalan almarhum.
Tidak
banyak barang yang ditinggalkan almarhum kecuali sedikit pakaian dan foto serta
dompet berbentuk persegi berwarna hitam polos. Sementara pakaian serta barang
peninggalannya saat tertembak di pajang dalam museum 12 Mei yang terletak di
dalam kampus Trisakti.
Dalam
dompet tersebut masih terdapat SIM (Surat Izin Mengemudi), Kwitansi serta foto
seorang wanita yang ternyata adalah Liana, kekasih dari Hendriawan.
“Terakhir
mau meninggal, sorenya jam 3 sebelum kuliah, dia kasih saputangan warna merah
ke pacarnya itu..” kenang bunda. Selain itu ada sebatang korek kuping berwarna
biru yang disimpan dalam dompet. Inilah kebiasaan Hendri saat sedang iseng
yaitu mengorek telinganya hingga beberapa kali harus bolak-balik ke dokter THT.
“Kalau
sudah diam ngorek-ngorek kupingnya,
sudah asik sendiri dia itu..” tambah bunda sambil sesekali terkekeh.
Hendriawan
Sie merupakan anak tunggal hasil pernikahan bunda Karsiah dengan Hendrik Sie. Ia
lahir pada 3 Maret 1998 di Balikpapan. Sejak kecil Hendri telah menjadi kebanggaan
untuk bunda. Almarhum senang mengikuti dan menjuarai peragaan busana serta
berprestasi di bidang akademik. Karena itu, tidak heran jika Hendri mendapatkan
beasiswa untuk menuntut ilmu di Universitas Trisakti dengan jurusan Ekonomi
Manajemen di tahun 1996. Meskipun anak tunggal, tapi Hendri bukanlah anak
manja. Sejak kecil ia bercita-cita ingin membuat kedua orangtuanya senang dan
bangga terhadap dirinya.
“Dia
itu senang ikut-ikut peragaan busana, modeling, jadi penerima tamu padahal
bunda nggak pernah nyuruh..” jelasnya sembari membolak-balik album foto
almarhum.
Entah
sudah berapa ratus orang yang mendatangi bunda untuk menanyakan hal yang sama
mengenai tragedi 1998 ini. Tapi bunda tidak pernah bosan dan dengan antusisas menceritakannya
karena ia ingin masyarakat tahu apa yang telah terjadi sehingga mencapai
reformasi. Terutama mengenai empat mahasiswa yang menjadi korban penembakan
aparat pemerintahan.
***
Duka
yang dirasakan oleh wanita berwajah oriental ini tidak berhenti sampai situ saja. Dua tahun sepeninggal
anak semata wayangnya, tiba-tiba ada seorang wanita yang tengah hamil lima
bulan mendatanginya dan mengatakan bahwa ia telah dihamili oleh suami bunda,
Hendrik Sie. Musibah yang datang bertubi-tubi ini sangat mengguncang diri
bunda. Alhasil, wanita kelahiran Tenggarong, 5 April 1963 ini memutuskan untuk
berpisah dengan suaminya dan hidup seorang diri karena ia tidak ingin menjadi
istri yang di poligami.
Tahun
2003, bunda ditawari untuk pindah ke Jakarta oleh rektor Universitas Trisakti.
awalnya ia ragu untuk meninggalkan kampung halamannya di Balikpapan, karena
jiwanya pun belum siap untuk menjumpai segala hal yang berkaitan dengan
almarhum anaknya di Jakarta. Akhirnya dengan segala pertimbangan, bunda
menyetujui tawaran tersebut. Terhitung sampai sekarang, bunda telah sepuluh
tahun menempati rumah milik Trisakti yang letaknya di belakang universitas dan
bekerja di koperasi Universitas Trisakti dari pukul tujuh pagi hingga empat
sore. Setiap bulannya bunda mendapatkan upah sebesar Rp 800.000,00 dari hasil
bekerja mengurus koperasi dan Rp 1000.000,00 sebagai uang jajan tetap yang
diberikan oleh pihak rektorat Trisakti kepada bunda.
Dengan
pindah dan bekerja di Jakarta kini bunda perlahan merasa terhibur. Ia sudah
menganggap seluruh mahasiswa/i di Universitas Trisakti ini sebagai anak-anaknya
bahkan banyak yang memanggilnya dengan sebutan ‘bunda’, ‘mama’ atau ‘mami’. Tidak
jarang ada mahasiswa yang berbaik hati mengantar bunda pulang atau memberikan
bunda makanan layaknya kepada orangtua mereka sendiri.
Alasan
lain yang mengiringi kepindahan bunda Karsiah ke Jakarta adalah supaya ia dapat
sering mengunjungi makam Hendriawan yang berlokasi di TPU Al Kamal, Kedoya. Selain
itu, urusan yang berkaitan dengan penuntasan kasus Mei 98 ini harus melibatkan
bunda. Bunda dan ketiga orangtua korban lainnya ingin mengungkap siapa dalang
dibalik penembak yang telah menewaskan anak-anak mereka. Segala cara telah
mereka tempuh. Sidang demi sidang, lembaga demi lembaga, diminta datang ke
Komnas HAM, Kontras, Mahkamah Militer, Mahkamah Agung, DPR, dan terakhir pada 22 mei 2013 lalu diundang ke Istana
bertemu dengan bapak Dipo Alam selaku Sekertaris Kabinet untuk membicarakan
kasus ini lebih lanjut. Namun sayangnya, sampai saat ini belum menemukan titik
terangnya dan pemerintah membiarkan kasus ini bergulir hingga belasan tahun
lamanya.
“Apapun
akan aku lakukan demi mendapatkan keadilan HAM untuk anakku, disana..” itulah
tekad bunda sampai kapanpun.
Meskipun
demikian, bunda selalu bersyukur karena masih banyaknya pihak yang memberikan
perhatian kepada dirinya. Buktinya, pada Agustus 2012 lalu bunda diberangkatkan
ke tanah suci Mekkah untuk melaksanakan Umroh bersama dengan ketiga ibu korban
yang lain oleh yayasan Trisakti. Selain itu, sebuah perkumpulan alumni Trisakti
yang tergabung dalam PAPERTI (Paguyuban Persaudaraan Trisakti 12 mei 1998)
memberikan hadiah berupa rumah tinggal di kawasan Nagrak, Ciangsana, Gunung Putri Bogor kepada keluarga
korban termasuk bunda. Rencananya pada Agustus mendatang bunda akan mulai
menempati rumah tersebut. Selain itu, bunda juga seringkali diikutsertakan
dalam kegiatan mahasiswa di kampus terutama yang berkaitan dengan peristiwa 12
Mei.
“Kalau
jalan yang terbaik untuk anak aku, ku ikutin. Tapi kalau jalan yang salah,
siapapun yg undang aku, aku Tanya dulu. Tujuannya apa.” Tegas
wanita berambut pendek ini.
Saat
ini bunda karsiah memang hidup sendirian tanpa seorang suami dan anak. Tapi
jiwanya tidak pernah patah semangat untuk mendapatkan keadilan HAM atas
terbunuhnya Hendriawan Sie, buah hati tunggalnya lima belas tahun lalu. Dia terus
berharap pemerintah akan membuka hati dan pikirannya untuk menuntaskan kasus ini.
Keinginan terbesarnya saat ini
adalah ia ingin sekali bertemu dengan
anaknya, Hendriawan meskipun hanya dalam mimpi. Putranya yang meskipun telah
tiada tapi namanya akan harum abadi selamanya sebagai pejuang reformasi dengan
gelar “Bintang Jasa Pratama”.
“Kemanapun mama melangkah, aku akan selalu ada untuk
mama”-Alm. Hendriawan Sie (korban penembakan Trisakti 12 Mei 1998)
oleh: Eka Laili Rosidha-11140110141
Tugas Ujian Akhir Semester Penulisan Feature
No comments:
Post a Comment