Nawatul ghusla lihaadzal mayyit fardhal kifaayati lilahita'ala
(Sengaja aku memandikan mayat ini, fardhu kifayah karena Allah Ta'ala)
Mulutnya telah ditutupi masker. Sarung-sarung itu juga sudah melekat di kedua tangannya. Dia mengucap serentetan doa untuk tubuh tanpa nyawa di hadapannya. Berharap supaya dosa-dosa orang itu diampuni. Dia mulai berdzikir. Lailahaillaallah... Lailahaillaallah.... Terselip doa-doa untuk diberikan kemudahan dan kelancaran. Pesannya, jangan sampai apa yang kita lihat saat memandikan jenazah itu kita omongkan. Sebab, sudah niat untuk ibadah.
Alat mandi, kapas, kapur barus, kain kafan, minyak wangi, alat bersih-bersih, make up, semua didapatkannya dari Majelis Ta’lim. Setiap Jumat malam ada dana sosial untuk mereka yang sakit atau meninggal. Secara sukarela dia mengurusi hidup orang lain. Sudah lebih dari lima tahun dia bergelut dalam dunia “kematian” ini. Entah berapa banyak jenazah yang sudah dimandikan dan dirias olehnya.
Lalu, dia pun menyirami tubuh di hadapannya itu dengan air timun untuk menghilangkan bau busuk. Dia membilasnya dengan air biasa, menggosok giginya, membersihkan kemaluannya, dipijatnya agar segala kotoran dapat keluar, dan kembali membersihkannya dengan air. Setelah bersih dan kering, dia bersama para pemandi jenazah lainnya menggotong tubuh itu untuk dikafani dan dirias.
Perlengkapan pun seadanya. Bedak... lipstik... bahkan keduanya pun hampir tidak pernah dipakai. Tergantung permintaan keluarga si jenazah.
Ya... tidak pernah terlintas dalam benak Siti Asiah untuk melihat jenazah, apalagi memandikannya. Melihat orang meninggal saja sudah takut luar biasa.
“Boro-boro megang, Ibu mah takut,” ujarnya wanita bertubuh agak gempal ini. wajahnya terlihat polos tanpa olesan bedak. Maklum, masih pagi.
Berkat membaca buku-buku hidayah, Ibu empat anak ini merasa tergerak hatinya. Dia tersentuh. Sebagai Muslim, dia merasa berkewajiban untuk bisa mengurus jenazah. Rasa takut dilunturkannya. Rasa jijik dilawannya. Rasa mual ditahannya. Bau busuk yang menyergap hidung tak lagi dihiraukannya.
Berawal dari sekadar ikut-ikutan, hati istri Bambang Suseno ini mulai mantap. Baginya, sudah tugas para Muslim untuk memandikan, mengkafankan, mensalatkan, dan menguburkan. Ketika di lingkungan ada orang yang meninggal, tetapi tidak ada orang yang mau memandikan jenazah, Siti Asiah tidak tinggal diam. Tangan-tangan luar biasanya tak pernah takut berbuat baik. Iman pun selalu kokoh mendampinginya.
Dalam satu jam saja, dia sudah selesai memandikan sekaligus merias jenazah. Pernah dia mengurusi mayat hingga berjam-jam lamanya.
“Sudah dibersihkan, keluar kotoran lagi. Sudah dibersihkan, keluar kotoran lagi. Sudah disumpel lubangnya, pas mau diletakkan, keluar kotoran lagi,” kenangnya kembali.
Meskipun begitu, dia mengaku bangga bisa melakukan hal yang menurutnya belum tentu bisa dikerjakan orang lain itu. Meski agak kerepotan dan tidak memiliki ilmu, Siti mengaku senang bisa membantu orang lain. Sehabis memandikan jenazah, rasanya nikmat. Allah memberikan ilmu dan mengirimkan dirinya untuk memandikan jenazah tersebut.
Siti yang pendidikan terakhirnya Sekolah Dasar ini mengajak saya untuk berefleksi. “Sekarang kita yang memandikan dia (jenazah), kita nggak tahu kalau lima menit lagi kita yang dimandikan.” Maka dari itu, kita harus ingat pada diri sendiri.
Pernah suatu kali Siti Asiah hendak memandikan jenazah. Di dalam ruangan itu, ada tiga orang yang bertugas. Satu di kaki, satu di perut, kebetulan Siti dapat di bagian kepala. Saat kepala dimiringkan, jenazah itu ngorok! Seperti orang tidur! Saat ditengok, orang-orang sudah pada nggak ada. Pemandi jenazah lainnya sudah kabur. Ketakutan. Tinggalah ia sendirian di dalam ruangan itu.
“Bu Bambang!” Begitu dia akrab disapa. “Sini-sini!” panggil dua Ibu lainnya yang turut memandikan jenazah. Mereka lari menjauh karena mendengar suara seperti mayat hidup!
“Kenapa?”
“Ada yang aneh, Ibu dengar nggak?”
“Dengar... memang kenapa?”
“Keluar! Keluar! Itu kan ngorok tadi!”
“Itu bukan ngorok!” bantahya mantap.
Siti Asiah memang mendengar bunyi mayat ngorok tadi, tetapi ia sama sekali tidak takut. Entah keberanian apa yang membuatnya tetap bertahan di samping jenazah itu. “Itu mayat kan sudah dari semalam. Kalau sudah mati, lubang-lubang pada bolong semua. Mungkin karena (terkena) angin terus ditekan-tekan, jadinya bunyi khoooqqq... khoooqqq...,” ujarnya sambil menirukan bagaimana bunyi mayat ngorok.
Pukul satu malam, ketika orang-orang telah terlelap, Siti terbangun dari tidur karena sebuah telepon membangunkannya. Dia ditelepon oleh seseorang dari daerah Lippo. Ada yang minta mandiin jenazah, katanya. Menganggu memang, tetapi Ibu berjilbab ini merasa enjoy dengan apa yang dikerjakannya.
Ketika sampai di rumah sakit, Siti melihat jenazah itu tergeletak begitu saja. Siapa sangka, jenazah itu adalah pemilik pom bensin se-Tangerang. Hatinya langsung mencelos. Ya ampun... kalau sudah meninggal kayak nggak ada harganya sama sekali. Semua manusia pada dasarnya sama. Ketika hidup, ada perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Namun, kalau sudah jadi jenazah, hanya kain kafan saja yang dibawa... dan ada amal ibadah yang membela.
Menjadi seorang pemandi dan perias jenazah tidaklah semudah yang dibayangkan Siti Asiah. Penghasilan yang tidak menentu hanya menuntut sebuah keikhlasan.
“Kadang-kadang dapat penghasilan, kadang-kadang enggak. Kalau ada sedekah, ya kita terima. Penghasilan nggak cukup untuk sehari-hari,” kata wanita kelahiran Pondok Pinang, 12 Oktober 1965 ini, sambil malu-malu.
Bambang Suseno, suaminya yang membuka usaha rumah makan Mie Tendean yang kini mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Selain itu, Siti juga menjadi guru mengaji. Pendapatannya memang tak seberapa, tapi cukup untuk tambah-tambah.
Saya pun bertanya, sampai kapan Siti Asiah mau menjadi pemandi dan perias jenazah?
“Selama Ibu masih bisa, selama orang masih membutuhkan, Ibu akan selalu siap. Selama Ibu sehat dan diberikan berkah panjang umur, insyaallah itu yang Ibu tekuni. Ibu cuma cari ridho Allah.”
No comments:
Post a Comment