Take Home Test UAS Penulisan Feature
Profil - Sutradara Teater
Oleh: Desy Hartini
11140110059
Teater KataK - Perkawinan |
“Kawin! Kawin! Kawin! Siapa butuh kawin?! Nikah!” Ahmad setengah berteriak
Ia menyeruput air yang ada di genggamannya…
“Berumah tangga? Nanti juga berantem, cekcok di rumah tangga terus cerai! Merepotkan aparat Negara yang mencatat penikahan!”
Jeda
“Memangnya kenapa kalau tidak menikah? Nggak papa kan? Nggak mati… Nggak mokat”
Jeda…
Tak lama ia merasa sedih…
Ia melihat penonton…
“Apa liat – liat? Jangan kira aku iri ya? Aku pantang untuk iri hati! Semua aku punya, harta, uang, jabatan, pekerjaan, kedudukan!”
Jeda…
“Aku punya segalanya… Kecuali itu… itu…”
Ia merasa sedih…
Lantas ia berteriak keras…
“Hiks… aku ingin menikah…” teriak Ahmad dan ia pun langsung pergi.....
***
Saya duduk di barisan belakang. Terlihat di depan panggung, beberapa pemain tengah berlatih teater untuk pementasan ke-22 mereka. Crew di balik pementasan pun terlihat sibuk. Sebagian menyiapkan kostum. Adapula mengurus lighting dan properti. Beberapa lainnya pun tampak asyik dengan suguhan latihan teater itu. Lampu yang berfokus ke arah panggung membuat semua mata tertuju pada seorang pemain berbadan tinggi yang berperan sebagai Ahmad, si pelamar. Sejenak, para pemain berhasil membuat para penonton, termasuk saya tercengang dengan penampilan teater kampus yang telah aktif sejak 4 tahun lalu. Judulnya Perkawinan. Sebuah teater yang diadopsi dari karya Nikolai Gogol.
Ketika itu, latihan teater tengah diadakan di Function Hall, Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong. Ruangan itu gelap. Tak ada penerangan. Hanya sebuah cahaya lighting yang menyorot ke arah panggung. Sebuah meja dan bangku tertata rapi di sana. Beberapa koran tergeletak di atas meja. Mantel dan topi pun tergantung di sudut ruang. Di sampingnya, sebuah lemari tua berwarna coklat masih berdiri kokoh. Bangku rotan panjang terlihat di sisi kanan. Suara para pemain masih terdengar. Pementasan pun dilengkapi dengan para pemusik yang duduk di depan panggung dengan berbagai jenis alat musik.
Lelaki berambut gondrong itu tengah berdiri di antara para pemain teater sampingan sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Tatapannya masih menghadap ke arah panggung. Sore itu, ia mengenakan baju barong berwarna hijau dan celana panjang hitam. Di tangannya sebuah naskah yang telah ia revisi sekitar setahun yang lalu. Sesekali, ia setengah berbisik kepada pemain sekaligus sedikit mengarahkannya.
“Ayo pemain yang belum dateng, coba disms atau ditelpon. Yuk, saling care satu sama lain,” ujar Ivan kepada tiga orang pemain di belakang yang tengah sibuk merapikan kostum mereka.
Venantius Vladimir Ivan |
Namanya Venantius Vladimir Ivan, akrab disapa dengan Kak Ivan. Lelaki kelahiran 14 April 1983 ini tidak pernah menyangka jika dirinya dapat terjun ke dunia teater, baik sebagai pemain maupun pelatih. Semua berawal pada tahun 2001 ketika ia memutuskan untuk bergabung dalam Teater Tablo sebagai pemain, sembari mengenyam pendidikan S1 di bangku kuliah. Sejak saat itulah, teater telah menjadi nafas dalam hidupnya.
“Awalnya itu cuma jadi pemain di Tablo, judul naskahnya Kisah Sengsara Yesus, waktu itu ada yang nawarin aku untuk jadi pemeran Yesus. Akhirnya, aku coba dan ternyata jadi suka dengan teater. Sampai sekarang jadi main terus,” kenang Ivan.
Rupanya, lelaki berperawakan tinggi ini memang memiliki bakat terpendam dalam dunia peran dan teater. Terbukti dengan dirinya yang mampu melakoni peran Yesus dengan sempurna dan disambut dengan berbagai pujian.
“Pertamanya sih emang gak yakin untuk ngajak ivan tapi karena penampilannya yang gondrong saat itu sangat cocok dengan pemeran Yesus. Dia pun mau untuk belajar dan juga mudah dilatih sehingga karakternya dapat dari dirinya sendiri. Dia ternyata emang punya bakat. Setelah itu, aku suruh dia melatih para pemain di Tablo,” ujar Christian Tanuwijaya, sutradara Teater Tablo.
Ketika itu, lantaran Ivan merupakan pemeran utama dalam pementasan Kisah Sengsara Yesus, ia diberikan latihan ekstra dan khusus sekitar 2 bulan oleh sang sutradaranya. Christian pun juga tak menyangka jika Ivan cepat menguasai perannya walaupun terkadang kerap mengeluh lantaran kesakitan.
“Uniknya itu ketika latihan, Ivan tuh selalu mengeluh kesakitan karena sering dicambuk dan dipukuli, terus harus memanggul salib. Namun, ketika pementasan berjalan, justru ia tidak mengalami kesakitan sama sekali padahal lukanya benar-benar berdarah dan memar. Mungkin karena penjiwaannya jadi lupa dengan memar-memar dan lukanya yang sakit itu,” ujar Christian.
Sementara karir kepelatihan teater Ivan bermula dari tahun 2003, berawal dari melatih teater di pastoran. Perlahan demi perlahan, sambil belajar dari berbagai kesalahan, lelaki yang hobi membaca ini mulai melatih teater di berbagai sekolah, universitas, dan gereja di daerah Jakarta hingga Tangerang. Hingga saat ini, jabatannya sebagai sutradara dan penulis naskah teater menjangkau sekitar 35 tempat. Kecintaannya terhadap dunia teater tak pernah membuatnya merasa jenuh karena hal itu merupakan hobinya. Ivan pun rela jika dirinya tidak dibayar ketika melatih. Hal itu karena ia melakukannya dengan rasa cinta terhadap dunia teater. Setiap hari, ia selalu melatih teater di 3 hingga 4 tempat dan selalu pulang ke rumah di bilangan Jakarta Timur pada tengah malam. Hal itulah yang menyebabkan Ivan jarang menghabiskan waktunya bersama keluarga, bahkan di hari minggu sekalipun.
“Itu mungkin kelemahan Ivan. Waktu yang ia berikan kepada orang-orang tertentu seperti keluarganya menjadi sedikit,” ujar Yogie Pranowo, sahabat dekat Ivan.
Selain melatih, ivan juga menulis naskah pementasan sendiri. Hingga kini sudah ratusan naskah yang telah ia ciptakan dan pentaskan. Salah satunya perkawinan, yang akan dipentaskan untuk kedua kalinya di bilangan Menteng. Selain itu, adapula beberapa naskah lainnya seperti Kejatuhan Manusia (2009), Jatuh Cinta (2009), Apakah Cinta Sudah Mati (2010), Adaptasi dari The Marriage, yaitu Perkawinan (2012), Adaptasi dari Broadway (2013), dan masih banyak lainnya.
Anak pertama dari dua bersaudara ini mengaku pernah mementaskan 5 naskah berbeda dalam sehari. Ia pun terpaksa hanya hadir di salah satu pementasan teater tersebut. Seluruh naskah pementasan yang telah ia ciptakan sejak 2003 silam diberi nama Agrippina, lahir untuk terkenal (Bahasa Latin). Terkadang, ia pun juga membuat lagu atau backsound untuk pementasan yang akan ia pentaskan tersebut.
Ironis, kesuksesan yang telah ia raih dalam bidang teater pun sungguh bertolak belakang dengan pendidikan yang telah ia tempuh semasa kuliah. Gelar strata 1 dan strata 2 berhasil ia raih dengan jurusan hukum di Universitas Atma Jaya dan Universitas Tarumanegara. Ivan mengaku memilih hukum karena ia memang cinta dengan dunia tersebut. Ia pun tak berniat untuk bekerja di bidang sesuai kuliahnya itu.
“Kenapa yah? Udah bosen tuh belajar hukum mulu, mending main dan ngelatih teater aja,” ujar Ivan sambil tertawa ketika ditanya alasan tak ingin kerja di bagian hukum.
Rupanya, jiwa professional yang dimiliki Ivan menarik simpati dan kagum banyak orang. Salah satu resep kesuksesannya adalah selalu berani mencoba. Ia tak segan-segan belajar segala sesuatu dari siapapun, entah itu sutradara papan atas maupun amatiran, entah mahasiswa maupun anak TK sekalipun. Kerap kali, ketika ia melakukan kesalahan dalam menulis naskah atau mementaskannya, ia tak malu dan akan belajar dari kesalahannya tersebut.
“Tiap orang pasti pernah kok bikin kesalahan, abis itu yah bikin dan benerin lagi aja. Pasti memang banyak kesalahan. Selain itu, aku juga suka melihat teater-teater lain yang pentas dan belajar dari mereka juga. Prinsip aku learning by doing, belajar sambil lakukan,” ujar lelaki yang dulu memiliki cita-cita sebagai astronot ini.
Sikap rendah hati yang dimilikinya pun selalu menjadikannya untuk selalu mendengarkan pendapat orang lain dan memberikan kesempatan anak didiknya untuk mengekspresikan dirinya. Ivan selalu dapat menempatkan dirinya ketika melatih anak-anak kecil, siswa SMP dan SMA, mahasiswa, maupun orang tua.
“Itulah kelebihan dia, Ivan tuh sutradara professional. Ia tahu bagaimana cara menghadapi anak-anak kecil hingga orang tua sehingga latihan teater pun dapat menjadi lebih efektif. Waktu itu juga pernah satu produksi teater bareng ivan di SMP-SMA Darmajaya. Kemudian ketika sedang latihan, ada seorang anak yang ketika dikasih tahu justru memberikan penawaran. Nah, yang dilakukan ivan itu justru tidak langsung memotong perkataan si anak tetapi dia mendengarkan dan melihat apa yang ia lakukan hingga selesai. Lalu, kita pun saling mencari sintesisnya bersama,” kenang Yogie.
“Itulah kelebihan dia, Ivan tuh sutradara professional. Ia tahu bagaimana cara menghadapi anak-anak kecil hingga orang tua sehingga latihan teater pun dapat menjadi lebih efektif. Waktu itu juga pernah satu produksi teater bareng ivan di SMP-SMA Darmajaya. Kemudian ketika sedang latihan, ada seorang anak yang ketika dikasih tahu justru memberikan penawaran. Nah, yang dilakukan ivan itu justru tidak langsung memotong perkataan si anak tetapi dia mendengarkan dan melihat apa yang ia lakukan hingga selesai. Lalu, kita pun saling mencari sintesisnya bersama,” kenang Yogie.
Gaya kekeluargaan dan kedisiplinan merupakan dua hal yang selalu diusung oleh Ivan dalam melatih teater di berbagai tempat. Hal itu berarti jika tidak ada garis yang membatasi ruang gerak sesama anggota teater yang berasal dari angkatan, fakultas, latar belakang agama, ras, dan budaya. Ivan mengaku jika semua sama dan semua satu keluarga.
Selain itu, dalam dunia peran tentu bukan hanya menghafal naskah maupun melakoni peran saja, melainkan harus memiliki suatu kedisplinan dalam berlatih. Lelaki yang juga seorang dosen Character Building ini mengaku jika tantangan tersulit dalam melatih adalah ketika mereka tidak memiliki kedisiplinan untuk datang mengikuti latihan. Hal itulah yang kerap dianggap Ivan sebagai hal terburuk.
“Kalo menurut aku, ketika gagal pementasan karena mati lampu ataupun hujan bukan merupakan hal yang buruk, itu merupakan proses. Namun, ketika orang sudah tidak mau latihan itu adalah hal terburuk. Orang yang tidak disiplin dalam latihan juga merupakan hal terburuk. Sementara itu, gak ada hal yang terburuk selain kedua hal itu,” ujar Ivan sambil menyeruput minuman di hadapannya.
Beberapa hal yang menjadi candu bagi Ivan dalam dunia teater, yaitu ketika sebuah pementasan dapat berjalan dengan lancar dan saat mendengar tepuk tangan penonton seusai pentas itu berakhir.
Makna teater bagi anak dari pasangan Alm. Y. Arief Biantoro dan L. Nur Indrawati ini adalah teater bukan hanya merupakan seni, melainkan teater dapat membuat disiplin pribadi dan tentunya menyampaikan pesan dan kesan terhadap orang lain dan dapat ditangkap oleh masyarakat luas. Selain itu, teater dapat dilakukan dengan proses yang panjang dan butuh biayanya yang tidak murah, sementara dunia teater pun kini kurang diminati oleh masyarakat zaman sekarang. Hal itulah yang mendorong Ivan untuk terus maju dan mengenalkan teater kepada banyak orang. Kata gagal pun tidak pernah terbesit dalam benaknya sekalipun. Ia selalu menekankan untuk selalu belajar dan belajar tanpa harus mengenal kata putus asa.
“Gagal itu ketika kamu memutuskan untuk tidak mau mencoba lagi, itu gagal namanya. Ketika kamu memang niat dan ingin terus mencobanya, pasti bisa. Kalau ada niat pasti bisa kok.” Ujar Ivan mengakhiri.
Target hidupnya pun simple. Ia ingin dapat senang-senang dalam hidup, dapat terus main dalam hidup. “Apapun yang Tuhan ingin lakukan yah aku lakukan. Pokoknya lebih bisa mengaplikasikan apa yang Tuhan inginkan dalam hidup ini,” ujarnya.
Waktu berjalan cepat. Percakapan kami pun terhenti. Ia memutuskan untuk kembali melatih teater di bilangan Grogol siang itu. “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya”. Itulah motto yang dipegang oleh lelaki beragama katholik itu.
@desyhartini ♥
No comments:
Post a Comment