Wednesday, June 19, 2013

Melanggar Peraturan, Mengatur Pelanggaran

Peraturan untuk tamu yang datang ke Desa Kanekes (Baduy)
MASYARAKAT Baduy Dalam tidak mengenal listrik dan teknologi. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan alat-alat seperti handphone, TV, dan kamera. Sama halnya juga dengan menaiki kendaraan. Melakukan hal-hal tersebut sama saja dengan melanggar adat istiadat. Pu’un atau kepala adat tidak akan segan-segan mengeluarkan masyarakat Baduy Dalam yang terbukti melanggar. Berbagai aturan adat istiadat seakan mengikat mereka lekat. Kalau tak berpegangan erat, mereka bisa melanggar dan menerima konsekuensi terberat sekalipun. Entah pelanggaran itu disengaja atau tidak disengaja. Akan tetapi, benarkah peraturan itu dibuat untuk dilanggar? Mungkin, sebagian orang sering mendengar pernyataan yang satu ini. 

Ya, tak dapat dimungkiri apabila kita tengah dikelilingi oleh sekelumit aturan. Harus mengerjakan tugas, memakai baju sopan ke kampus, dilarang parkir di depan rumah warga, dilarang buang sampah kalau tidak mau dibilang monyet, sampai dilarang kencing sembarangan! Entah aturan itu dibuat mengikat atau sekadar sambil lalu. Entah aturan itu mudah atau rumit dijalankan. Entah hanya dibuat-buat atau memang benar punya tujuan mulia. Siang itu, saya menyusuri berpuluh-puluh kilometer jauhnya menuju desa Ciboleger. Perlahan, saya membaca kembali sebuah pesan singkat yang masuk ke handphone. Pesan itu datangnya dari salah satu masyarakat Baduy. Membaca kata per kata dengan hati-hati, sembari mencerna maksud dari pesan itu. 

Sarwadi
Received 13/12/2012 @09:31
Hlow dari sarwadi baduy teman ibu anreas jadi ga besok ke baduy aku tugu di terminal ci bolegr tolg esms bals

Itu adalah SMS dari Kang Sarwadi, masyarakat Kanekes yang mendampingi saya untuk mengeksplorasi suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, di kaki pegunungan Kendeng desa Kanekes. Saya melihat Kang Sarwadi beserta adiknya, Kang Sarmidi yang tengah menunggu di depan Alfamart. Keren juga, di Baduy ada Alfamart, ujar saya dalam hati. Saya mendekat, bertemu sapa, dan memulai obrolan kecil.

Tak sadar, saya mulai memerhatikan mereka lekat-lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ikat kepala putih yang menempel di kepala, baju tenun putih yang agak usang, tas kain nan lusuh, gelang-gelang di tangan, dan kaki-kaki kuat tanpa alas. Awalnya, sempat terpikir bahwa mereka berasal dari Baduy Luar. Nyatanya tidak, setelah saya mendengar pernyataan bahwa mereka berasal dari Baduy Dalam.

Teringat kembali akan SMS yang pernah dikirimkan Kang Sarwadi beberapa waktu sebelumnya. Apa benar Kang Sarwadi dan Kang Sarmidi mengirimkan SMS itu kepada saya? Kalau iya, terbukti mereka kedapatan mengunakan handphone untuk berkomunikasi. SMS itu jelas menjadi bukti pelanggaran. Jika demikian, bukankah Pu’un bisa mengeluarkan mereka dari Baduy Dalam?

“Itu punya teman. Kalau dipakai di Baduy Luar nggak apa-apa. Nggak ngelanggar adat,” jawab Kang Sarwadi santai. Saya pun bertanya lagi, apa konsekuensi bila ada masyarakat yang melanggar aturan? Lelaki berumur 28 tahun ini pun menjawab, kalau ketahuan melanggar aturan adat, akan dikeluarkan dari Baduy Dalam, naik kendaraan misalnya. Ya, bicara soal aturan, apakah wajar bila seseorang melanggar adat yang berlaku? Terlebih ketika aturan itu sudah diwariskan secara turun temurun... seperti masyarakat Baduy tersebut.

“Setiap manusia diatur oleh norma, aturan, budaya, adat, dan agama. Kalau kita lihat, siapapun mempunyai potensi untuk melanggar aturan karena seringkali orang bilang kalau peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Jadi, wajar saja kalau mereka melanggar adat istiadat,” tutur Inco Harry Perdana, Dosen Komunikasi Antar Budaya Universitas Multimedia Nusantara. Hukum boleh-tidaknya, benar-salahnya, yang menentukan adalah seseorang yang dipercayai kelompoknya.

Dalam masyarakat Baduy, ada Pu’un yang berhak mengambil keputusan. Sebab, hubungan horizontal itu sulit. Misalnya, mahasiswa tidak bisa menghukum sesama mahasiswa. Mahasiswa bisa dihukum oleh dosen. Dosen dihukum rektor. Dalam budaya atau masyarakat, harus ada hubungan vertikal. Itulah yang bisa memutuskan salah atau tidaknya.

Berbeda dengan Desy Hartini, mahasiswi Jurnalistik 2011, Universitas Multimedia Nusantara yang pernah berkunjung ke Baduy ini. “Nggak wajarlah. Itu kan adat mereka, turun temurun pula. Nah, seharusnya sebagai penduduk di sana harus mematuhi peraturan-peraturan yang sudah disepakati.” Pada kenyataannya, adat istiadat bukanlah sesuatu yang tidak bisa berubah. Sifatnya yang dinamis lambat laun akan menyesuaikan.

Yang perlu diingat, budaya yang menyesuaikan dengan masyarakatnya. Seperti statement berikut ini: “Bukan kaki manusia yang dipotong seukuran panjang celana, tetapi celana yang dipotong seukuran kaki manusia. Karena budaya untuk manusia, bukan manusia untuk budaya.”

Jadi, semua bisa disesuaikan. Kalau begitu, apakah setiap pelanggaran akan dibenarkan? Tentu tidak...

Saya kembali bertanya lagi apakah Kang Sarwadi pernah naik kendaraan di luar atau tidak. “Belum, belum pernah. Ke mana-mana... ke Jakarta, jalan kaki.” jawab Kang Sarwadi sambil tersenyum kecil. Saya menimpali, meyakinkan bahwa bukankah naik mobil di luar Baduy Dalam sama-sama tidak melanggar adat? Sama halnya dengan menggunakan handphone di Baduy Luar.

Lelaki di hadapan saya ini hanya tersipu malu dan mengangguk kecil. Bingung mau menjawab apa. Seperti kancil yang tertangkap basah sedang mencuri mentimun. Seakan-akan baru saja ketahuan pelanggaran apa yang telah diperbuatnya.

Saya pun kembali menikmati perjalanan di Baduy. Memandangi pohon-pohon di kanan-kiri dan menyeberangi jembatan dari desa satu ke desa lain. Memaksa kaki-kaki saya yang mulai tak kuat mendaki bukit, menginjak bebatuan terjal nan licin, sembari menikmati setiap tetes peluh yang mengalir tiada henti di wajah. Mari menyusuri Baduy dengan menaati peraturan, tanpa memusingkan pelanggaran....



Oleh Sintia Astarina - 11140110048
Tugas Mata Kuliah Penulisan Feature

No comments:

Post a Comment