“Mbak,
coba liat yang itu dong!” perintah seorang laki-laki berambut klimis kepada
seorang wanita berbadan cukup gemuk. Laki-laki itu menunjuk sebuah boneka teddy bear berwarna merah muda yang ukurannya
begitu besar. “Berapa mbak?” tanya laki-laki itu sambil menyeka keringat
didahinya. “Seratus tujuh lima, mas,” jawab penjual boneka tersebut sambil
memberikan teddy bear raksasa itu
kepada calon pembelinya itu.
Aksi
tawar menawar pun dimulai. Seperti dua orang yang sedang bermain bulutangkis,
melempar kok kesana kemari menggunakan raket, demikian penjual dan calon
pembeli ini. Mereka berdua saling melempar harga, keduanya tak ada yang mau
kalah. “Seratus ribu?” tawar laki-laki itu. “Seratus lima puluh deh,” si
penjual kembali menaikan harga. Hampir lima menit, mereka berkutat dengan
adegan tawar menawar yang tak kunjung usai, sampai akhirnya calon pembeli itu
benar-benar hanya menjadi calon pembeli, alias tidak jadi membeli.
Tempat
ini memang sudah menjadi pusat mainan anak murah dan meriah di Jakarta sejak
tahun 1990. Karena kawasan ini bukan terdiri dari kios mainan dengan bangunan
bagus, berpendingin ruangan, dan dengan label harga yang sudah digantung
disetiap mainan, adegan tawar menawar harga selalu terjadi antar penjual dan
calon pembeli.
Pasar
Gembrong, ya, itu dia nama tempat yang menjadi pusat mainan murah di Jakarta
setelah Pasar Asemka dan Pasar Tanah Abang. Dari mana nama gembrong berasal,
tidak ada satupun yang tahu. Nama pasar ini sebenarnya adalah Pasar Prumpung
karena letaknya memang berada di JL. Basuki Rachmat, Prumpung, Jakarta Timur. Pasar yang usianya sudah puluhan tahun ini bisa
dibilang terletak didekat kawasan elit ambassador sampai cassablanca.
Awalnya,
pasar ini tidak menghadirkan banyak kios-kios mainan, melainkan seperti pasar
tradisional pada umumnya yang menjual aneka bahan-bahan pokok seperti sayur
mayur, ikan, ayam, dan kebutuhan pokok lainnya. Bisa dihitung dengan jari
berapa banyaknya pedagang yang menjajakan mainan-mainan anak.
Tetapi
semuanya berubah sejak pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk membangun jalan
baru dari Casablanca menuju ke Pondok Kopi. Pedagang-pedagang bahan-bahan pokok
di wilayah itu harus rela pergi digusur untuk kepentingan pembangunan jalan.
Saat jalanan Casablanca-Pondok Kopi jadi, satu persatu penduduk membangun
kios-kios semi permanen di tepi jalan baru tersebut, namun mereka yang tadinya
menjual sayur mayur dan aneka kebutuhan pokok itu beralih menjadi penjual
mainan anak-anak. Stok mainan anak-anak didapatkan para penjual mula-mula dari
Pasar Asemka dan Tanah Abang.
Seiring
berjalannya waktu dan semakin padatnya kawasan Casablanca, Pasar Gembrong ikut
berkembang dengan sangat pesat. Bangunan-bangunan semi permanen yang menjual
beragam mainan anak semakin banyak berdiri berjejer disepanjang jalan Basuki
Rachmat. Hingga kini, Pasar Gembrong menjadi pusat mainan nomor satu di Jakarta
mengalahkan Asemka dan Pasar Tanah Abang, meski awalnya kedua pasar tersebut
adalah tempat para pedagang di Pasar Gembrong mencari aneka mainan untuk dijual
kembali.
Sekarang
ini, disepanjang Jalan Basuki Rachmat benar-benar sudah dipadati oleh pedagang
mainan. Display mainan yang akan
dijual sudah seperti tumpah-tumpah ke jalan melebihi kapasitas kios sehingga
mengambil porsi trotoar untuk pejalan kaki. Bahkan sampai ada lapak-lapak yang
seperti terjun bebas ke pinggir jalan.
Sore
itu hujan turun cukup deras, berbanding lurus dengan pengunjung yang juga tetap
deras mengunjungi pasar gembrong. Anak-anak yang rata-rata berusia sekitar 10
tahunan tampak sibuk menawari payung berukuran besar kepada ibu-ibu yang baru
saja keluar dari mobil yang diparkirkannya dipinggir jalan. Rupanya, hujan sore
itu tidak menghalangi pembeli yang kebanyakan adalah ibu-ibu untuk tetap
berbelanja atau sekedar mencuci mata di Pasar Gembrong.
Saya
menyusuri trotoar disepanjang kios-kios mainan di Pasar Gembrong berdiri. Agak
kesulitan berjalan disini. Agak kesulitan memang berjalan di trotoar ini,
maklum, para pedagang menaruh etalase atau meja untuk menjajakan dagangan
mereka sampai meluap ke trotoar, memakan setengah bagian trotoar. Bahkan
beberapa kios sampai membabat habis trotoar di depan kios mereka, sehingga saya
harus sesekali turun ke jalanan, itupun saya masih harus berjuang, karena di
pinggir jalanpun tidak sedikit pedagang yang membuka lapak. Berjalan
berdesak-desakan dengan penjual dan pengunjung lainnya, saking terlalu
sempitnya tempat untuk berjalan, saya dan beberapa pengunjung didepan saya
sesekali menjatuhkan satu dua mainan yang ditumpuk sampai tingginya hampir
sepinggang orang dewasa.
Sebuah
kios menarik perhatian saya karena kios yang satu ini tidak terdiri dari
berbagai jenis mainan, melainkan hanya menyediakan boneka. Aneka boneka ada di
sini, mulai dari ukuran yang paling kecil, sampai yang sangat besar. Dari
paling depan, boneka-boneka kecil tampak dalam etalase kaca dan saat saya masuk
ke dalam kios, WAW....... boneka-boneka seukuran badan saya ada di dalam, rapih
terbungkus plastik bening.
Tidak
terlihat papan nama kios ini di bagian depan kios ini saat saya masuk tadi,
ternyata benar kata Ibu Farida, penjaga kios ini yang baru memulai pekerjaannya
sejak lima tahun terakhir.
“Bos
saye gak ngasih nama tokonya, kaga penting katanya mah,” ujar Ibu Farida dengan
logat Betawi.
Ibu
Farida memang baru lima tahun menjaga kios tanpa nama ini, namun kios berukuran
3x3 meter ini sudah berdiri kokoh menjual bermacam-macam boneka sudah sejak 27
tahun yang lalu.
“Saye
Cuma jaga tapi tahu ceritanye lumayan, bosnya masih sodara saye. Bos saye orang
Arab tapi udah lama tinggal di Jakarta,” cerita bu Farida yang ternyata juga
keturunan Arab tapi sangat lihai berbicara memakai logat Betawi ini.
Menengok
keadaan kios yang semi permanen dan bisa dibilang sempit dan seadanya, sayapun
bertanya kepada Ibu Farida, “Kios-kios di Pasar Gembrong ini tuh sebenernya sah
gak sih, bu?”
“Sah
kok, suratnya ada. Yang gak sah itu yang buka-buka lapak di pinggir jalanan noh,
itu udah sering diamanin sama petugas kantib, nanti kalo petugas kantib udah
dateng nah mereka ribet dah tuh mindahin lapak ke trotoar depan kios-kios yang
sah ini, biar dikira masih bagian dari kios,” ungkap Ibu Farida.
Ibu
Farida mengatakan, bahwa sebenarnya untuk keamanan dan kenyaman bersama,
pemerintah DKI Jakarta sudah membangun bangunan modern dan permanen yang berisi
kios-kios lebih layak untuk para pedagang, dengan harga sewa sama dan letaknya
masih di pinggir Jalan Basuki Rachmat. Awal-awal bangunan permanen itu
didirikan, banyak pedagang yang pindah kios kesana, namun sepi, calon pembeli
malah mendatangi lokasi yang lama, jadilah Pasar Gembrong yang permanen itu
sepi ditinggal pedagang yang memilih untuk kembali berjualan di kios semi
permanen mereka.
Kios
boneka tanpa nama ini diakui Ibu Farida selalu ramai didatangi pembeli dari
berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, pelaut, bahkan
sampai artis pun ada yang menjadi langganan tetap kios yang dijaganya.
“Dony
Kusuma noh dek, dateng tiap hari Selasa kesini, borong boneka buat anaknya kali
ya, ganteng bener dek, putih,” cerita Ibu Farida yang membakar rokok. “Sama si
itu si siapa itu penyanyi dangdut tuh lupa dah Ibu,” tambah Ibu Farida yang
sudah berusia 45 tahun ini. “Cici Paramida,” sahut Mbak Della, anak Ibu Farida
yang menemani menjaga kios.
Ibu
Farida dan Della mengaku tidak pernah gerogi walaupun kiosnya sering didatangi
artis-artis, “Sama-sama manusia sama-sama makan nasi kok, dek, stay cool aje,” ujar Ibu Farida yang
ternyata selalu menolak diwawancarai oleh media-media televisi.
Keunikan
Pasar Gembrong memang selalu menarik banyak media-media untuk meliput kawasan
ini, apalagi media televisi. “Waktu itu ada JakTV, MetroTV, sama TransTV. Tadi
siang juga ada tuh tapi saya gak mau masuk tipi, malu, jadinya si Della deh
yang ditanya-tanya,” ungkap Ibu Farida
“Ada
pelaut juga tinggal di Makasar, tiap 6 bulan sekali kesini, borong boneka
belanjanya sampe jutaan, buat dijual lagi katanya, di sana susah boneka sama
mainan,” cerita Ibu Farida sambil menghisap rokoknya.
Memang,
karena Pasar Gembrong memang terkenal menjual mainan murah dengan kualitas
bagus, banyak artis berdatangan ke sini untuk memborong beragam mainan. Di
Pasar Gembrong, kita bisa mendapatkan mainan seperti yang ada di mall-mall
dengan harga dua kali lebih murah. Misalnya, boneka tedy bear berukuran sangat
besar, dipatok Ibu Farida dengan harga Rp 175.000,00- dan masih bisa ditawar,
sedangkan dengan barang yang sama tetapi sudah dijual di toko yang ada di mall,
harganya bisa mencapai Rp 300.000,00-
“Boneka-boneka
yang di jual di mall tuh, sering ngambil di sini, kalo belanja ampe pake karung
saking banyaknya. Ada tuh toko boneka di daerah Karawaci sebulan sekali kesini
ambil stock barang,” jelas Ibu Farida.
Harga
boneka di kios ini dipatok mulai dari harga Rp 35.000,00- sampai paling mahal
Rp 250.000,00 dan itu semua masih bisa ditawar.
“Kadang
ada yang nawar harganya kelewatan, masa boneka Rp 150.000,00- ditawar jadi Rp
50.000,00- kan sakit hati juga saya,” keluh Ibu Farida sambil geleng-geleng
kepala.
Kios
yang buka pukul 09.00 WIB dan tutup pukul 17.00 WIB ini paling sedikit
menghasilkan Rp 3.000.000,00- per harinya, itu hari biasa, jika weekend tiba bisa dua bahkan tiga kali
lipatnya.
“Kalo
weekend noh ya dek, suka sampe puyeng
kepala, rame bener manusia yang dateng kesini. Kadang sampe ketuker-tuker
ngasih harga barang, yang murah jadi mahal yang maha jadi murah,” kata Ibu
Farida sambil mengepulkan asap rokok ke arah atas.
Saking
ramainya pengunjung saat weekend,
ternyata kios ini pernah mengalami kerugian hingga Rp 7.000.000,00- di suatu
hari sabtu sekitar dua tahun yang lalu. Waktu itu, kios ini diakui Ibu Farida
belum mempunyai etalase kaca, jadi dibagian depan toko hanya ada meja untuk
memajang banyak boneka.
“Kita
gak sadar keilangan barang, tiba-tiba pas mau tutup lagi ngepak-ngepak barang
eh kok banyak yang ilang, ternyata yang jaga kios sebelah cerita kalo pas siang
barang-barang banyak yang jatoh ke trotoar terus diambil-ambilin orang-orang,”
cerita Della yang diwajahnya masih tergores raut kesal mengingat kejadian itu.
Memang,
boneka di kios ini sangat banyak, rata-rata adalah aseli buatan pabrik
Indonesia, pabrik rumahan, namun ada juga beberapa yang di import dari luar
negeri. Saking banyaknya boneka di
kiosnya, Ibu Farida tidak hafal nama-nama boneka yang dia jual. Saya saja
hendak membeli boneka karakter dari Jepang, Domo
Kun, tapi Ibu Farida malah memberi saya boneka karakter cookie monster dari sesame street.
“Begitu
tuh si Ibu suka salah dan sok tahu, kadang malu harus
berantem di depan pelanggan buat nyariin boneka pesenannya,” ujar Della. Della
mengaku lebih banyak tahu tentang nama-nama karakter boneka yang dijualnya,
“Saya sering cari tahu nama-namanya lewat internet,” kata Della.
Ibu
Eni, salah satu pelanggan di kios boneka yang dijaga Ibu Farida dan Della ini
mengaku tidak pernah merasa kecewa dengan barang-barang yang dibelinya. “Saya
puas setiap beli di sini, selain beli boneka, biasanya saya belanja ke kios
Kawan Lama, kalau disitu dia gak jual boneka, jualnya mainan. Disana lebih
modern aja bayarnya bisa pake kartu kredit,” ujar Ibu Eni yang tinggal di Kota
Bogor ini. “Kalau ngeluh, paling masalah parkir aja,” keluhnya.
Sore
itu jam sudah menunjukkan pukul 18.00, tetapi kios boneka yang seharusnya sudah
tutup ini belum juga tutup karena hujan masih turun dengan setia. Pembelipun
juga masih setia membeli boneka-boneka di sini meski hujan mengguyur dan tidak
ada kenyamanan sama sekali.
No comments:
Post a Comment