Ratusan, bahkan ribuan buku bajakan ada di Pasar Senen. Kios yang sebelah kiri adalah kios buku milik Jimmy. |
Seorang Ibu yang tengah bertransaksi |
Di Pasar Senen, ada banyak kios buku yang bisa kita temui. Beragam buku pun dapat kita temukan. Mulai dari buku agama, buku perkuliahan, novel, kamus, dan masih banyak lagi. |
“Cari buku apa nih? Sini masuk aja dulu.”
Seorang Ibu berkerudung melihat buku-buku yang terpampang rapi di depan kios.
“Mira W. udah punya, Bu?” tanya lelaki bertubuh gemuk yang sebagian bajunya basah karena keringat.
“Enggak.”
“Marga T.?” Lelaki itu menyodorkan dua buku yang sudah agak usang.
“Ini berapaan?” tanya si Ibu.
“Dua puluh lima ribu aja, Bu.”
Si Ibu menggeleng, tampaknya belum puas dengan harga yang diberikan.
“Baru nih, Bu.”
“Nggak kurang nih?” tawarnya lagi.
“Kalau boleh 25, 30 juga nggak apa-apa.”
“Nih dua, 15 ya?”
“Nggak dapat, Bu Haji. Dua puluhan aja, Bu Haji.”
Si Ibu masih belum puas. Dia menggeleng lemah.
“Lima belasan mau nggak, Bu Haji? Lima belasan, satu? Sepuluh ribuan mau nggak, Bu Haji? Dibolehin nih 10 ribu aja,” lelaki itu mulai membanting harga.
“Mau?” si Ibu mencoba memastikan. Dia membolak-balikan kedua buku yang ada di tangannya, sembari mengecek kondisinya.
“Iya, 10-an aja nih, Bu.” Lelaki itu mondar-mandir, pasrah.
Si Ibu pun mengambil satu buku yang ditawarkan.
“Dua-duanya aja ambil, Bu. Barangnya cuma dua soalnya,” tawarnya lagi.
Awalnya enggan, tetapi akhirnya Ibu itu pun membeli dua buku tersebut.
***
Waktu menunjukan pukul 11. Hari semakin siang. Di dalam gedung tua itu, para penjual buku tak lelah menjajakan barang dagangan mereka. Setiap calon pembeli yang melintasi kios mereka, ditawarinya ini-itu. Buku agama, komik, novel remaja, novel roman, kamus, buku kuliah, buku TTS, juga majalah. Kata orang banyak, di sini banyak buku-buku murah. Di Pasar Senen ini, buku-bukunya lumayan komplit.
Pasar Senen yang terletak di Jakarta ini adalah pasar tertua yang dibangun pada 30 Agustus 1735. Tuan tanah sekaligus arsitek bernama Yustinus Vinck membangunnya di atas lahan milik anggota Dewan Hindia bernama Cornelis Chastelein.
Dinamai Pasar Senen karena dulu memang hanya buka pada hari Senin saja. Namun, sejak 1766, pasar yang ramai pengunjung ini dibuka selain hari Senin. Begitu banyak cerita yang menyapa wajah Pasar Senen dan sekitarnya. Sebelum Indonesia merdeka, kawasan ini dijadikan tempat berkumpul pada intelektual muda dan pejuang bawah tanah Stovia. Pemimpin besar seperti Soekarno – Hatta pun kerap kali menggelar pertemuan di daerah ini.
Kini, seiring berjalannya waktu, betapa Pasar Senen telah bermetamorfosa. Ketika saya menjejakkan kaki di atas tanahnya, pemandangan gedung kumuh tak terawatlah yang tertangkap kedua mata. Bukan ulasan wajah sebenarnya yang tercatat dalam sejarah. Kios-kios besar pun telah tergantikan oleh para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan seenaknya.
Ketika memasuki pasar, saya membungkukkan badan sedikit sambil memasang mata lekat-lekat. Memasukki area dalam dan memandangi satu per satu kios di dalam Pasar Senen secara sekilas. Sapaan-sapaan yang lebih terdengar seperti godaan terdengar sana-sini.
“Cari apa, Neng? Mampir aja liat-liat dulu.”
“Enggak, Bang.”
“Cari apa, Neng? Cari Abang juga boleh...”
Saya kembali menebarkan pandangan tanpa berusaha menanggapi hirauan-hirauan angin lalu. Di lantai satu pasar tersebut, hanya ada kios-kios penjual buku. Sempat beberapa menit berkeliling sembari melihat-lihat, seorang laki-laki berkepala botak menawarkan buku-buku yang dijualnya. Saya masuk ke dalam kiosnya, mengambil satu buku di sana, dan mulai bertanya-tanya.
Jimmy Ricardo (25), salah satu penjual buku di Pasar Senen sudah mulai berdagang buku sejak kecil. Sebenarnya, keluarganya merupakan orang lama di Pasar Senen. Sejak 1983, ayah Jimmy sudah menjual buku. Kiosnya terletak di belakang, tak jauh dari kios miliknya. Delapan tahun belakangan ini, lelaki yang hobi bermain motor ini pun mulai fokus dalam berjualan buku.
Buku-buku dagangannya bertumpuk rapi di dalam kios, tingginya bisa mencapai 1,5 meter. Sebagian buku dipajang di kios, sebagian lagi dia taruh di gudang. Untuk buku-buku yang sering dicari pembeli, dia pamerkan paling depan. Hal ini dilakukannya agar calon pembeli dapat dengan mudah menemukan buku yang laris di pasaran sehingga mau langsung dibeli.
Jimmy pun mengaku, buku-buku yang dijualnya sebagian original, sebagian lagi tidak. Namun, lebih banyak original, sambungnya.
“Cara ngebedainnya, dari kertasnya aja. Yang nggak ori sebenarnya sama kayak KW satu, KW super, KW biasa. Dari cover nggak ada beda, malah lebih rapi yang KW,” ujarnya ketika ditanya bagaimana cara membedakan buku yang original dan yang tidak.
Ternyata, tidak sedikit orang yang mencari buku-buku murah dengan kualitas bagus. Pelajar, mahasiswa, bahkan seringkali ada dosen yang mencari buku-buku kuliah. Tak peduli apakah buku itu asli atau bajakan, yang penting harga sesuai dengan kantung dan isinya pun sama seperti aslinya.
Siapa sangka, dari bisnis yang dijalaninya ini, Jimmy pun sudah memiliki beberapa pelanggan tetap. Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang buku yang menjual kembali buku-buku yang dibelinya via online.
“Yang asli kebanyakan. Sebenarnya Abang bilang, mau yang ori apa yang buku biasa, yang cetak ulang? Kebanyakan orang sih maunya yang murah, ya abang kasih yang cetak ulang. Perbedaannya di mana Bang? Perbedaannya cuma di kertas, tapi dalamnya bisa kebacalah,” tutur anak kedua dari empat bersaudara ini.
Bisnis yang dilakukannya ini membawa keuntungan tersendiri. Dalam sehari, Jimmy bisa mendapatkan Rp3-5 juta. Bahkan, dia pun pernah mendapatkan puluhan juta dalam sehari.
Jimmy biasa membeli buku-buku dagangannya dari orang lain. Buku-buku ini didapatkannya dari kawasan Senen dan Jakarta Selatan.
“Kalo ori, ya ada aja orang yang jual. Kadang obral-obralan. Ya, ada ajalah tangan-tangan jahil. biasanya dari penerbit juga ada. Biasanya ada yang nganter, kadang tiap hari, kadang seminggu sekali. Satu judul bisa 100, 1000, 5000 pernah,” ujarnya sambil menyusun buku-buku dagangannya di tempatnya.
Bukan satu-dua orang saja yang datang ke Pasar Senen untuk memburu buku-buku yang diinginkan, melainkan bisa mencapai ribuan. Terlebih ketika musim ajaran tiba. Dengan kualitas buku yang tidak kalah dengan aslinya, calon pembeli pun bisa mendapatkan harga yang jauh lebih murah.
“Kalau tahun ajaran baru itu, ribuan orang yang datang. Bukan satu sampai dua orang. Ya ampun, udah kayak ngantre daging korban,” ujarnya sambil disambut tawa hangat.
Tak hanya buku-buku terbitan Indonesia, Jimmy pun juga menjual buku-buku impor. Kalau yang baru, biasanya dia membeli bekas tukar tambah di pasar loak. Buku yang paling mahal dijualnya adalah buku-buku kedokteran yang harganya bisa mencapai jutaan. Namun, Jimmy berani menjualnya seharga Rp700.000,00-an.
Siapa sangka, lelaki yang tinggal di Kemayoran ini juga hobi membaca buku, terutama buku sejarah. Yang menjadi bacaan favoritnya adalah buku sejarah berjudul Di Bawah Bendera Revolusi karangan Bung Karno.
Dari ribuan buku yang dijajakannya di kios berukuran 2x2 meter itu, Jimmy melihat referensi buku yang bagus berdasarkan banyaknya peminat yang membeli, serta gaya bahasa yang bagus. Menurutnya, cover bagus jarang menjadi jaminan buku itu laris.
Pro dan Kontra Pembajakan Buku
Salah satu pelanggan Jimmy adalah Desy Hartini. Dia pernah membeli beberapa buku yang dijual lelaki bertubuh gempal itu.
“Gue beli buku-buku itu karena awalnya gue kira itu sama dengan aslinya, terus kan memang sedikit lebih murah. Eh, ternyata memang beda kan tuh. Tergiur juga buat membelinya, tapi akhirnya nyesel!” tukasnya. “Kasihan aja sama penulisnya, sudah capek-capek bikin dan nerbitin buku, tapi gue malah beli yang palsunya, kan kasihan. Terus, lebih enak yang asli jugalah, cover-nya juga lebih bagus. Sampai sekarang aja (bukunya) belum disentuh sama sekali, sampai dipisahin gitu karena palsu,” lanjut mahasiswi Jurnaslitik Universitas Multimedia Nusantara ini panjang lebar.
Ya, siapapun pasti tahu, pembajakan buku tentu sangat merugikan. Setidaknya ada tiga pihak yang dirugikan dalam kasus ini, yakni penulis, penerbit, dan negara. Penulis dirugikan karena sudah pasti royaltinya berkurang, penerbit kehilangan pembeli mereka, dan pendapatan negara atas pajak juga berkurang. Sayangnya, sampai saat ini, pihak-pihak yang harusnya bisa bekerja sama untuk mengurangi masalah ini justru terkesan santai dan menganggap pembajakan sebagai hal yang lumrah.
Menurut Dyan Nuranindya, penulis novel best-seller, sebagian besar taraf hidup masyarakat Indonesia saat ini memang masih rendah. Jadi, wajar kalau pola pikir masyarakat Indonesia cenderung mementingkan kuantitas suatu produk dibandingkan kualitas. Mereka akan memilih produk-produk yang memiliki harga lebih murah asal dapat memenuhi keinginan mereka. Kesadaran akan pentingnya produk asli masih minim.
Perempuan kelahiran Jakarta, 14 Desember 1985 ini pun mengaku pernah melihat novel miliknya dibajak dan dijual orang lain dengan harga yang relatif murah.
“Awalnya sih kaget dan sedih, tapi habis itu saya tertawa sendiri. Itu tandanya novel saya dikenal orang sampai ke kelas ekonomi tertentu karena buktinya ada orang yang rela susah-susah membuat bajakannya. Hehehe...,” ceritanya.
Ya, tidak jauh berbeda dengan Dyan Nuranindya, Donny Dhirgantoro, penulis novel National Best Seller, 5 cm dan 2 ini mengaku bukunya juga banyak dibajak orang tak bertanggung jawab.
“Waktu itu sih pernah minta tolong polisi dari Gramedianya, tapi dia ada lagi, ada lagi,” kenang Donny. Tidak hanya di kawasan Pasar Senen saja, dia juga pernah melihat bukunya dijual di Blok M Square, stasiun kereta, jembatan, dan Kwitang. Dari harga aslinya yang mencapai Rp60.000,00, para pambeli buku bajakan bisa mendapatkannya dengan harga relatif murah, yakni Rp20.000,00. Di Pasar Senen sendiri, buku Donny yang berjudul 2 dijual seharga Rp30.000,00.
Kerugian serupa juga dirasakan oleh penulis novel kontroversial, Membongkar Gurita Cikeas di Balik Kasus Bank Century, George Junus Aditjondro. Dia mendapatkan kerugian sebesar Rp18 miliar akibat pembajakan tersebut. Bahkan, pengarang buku tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata, pernah ditawari buku karangannya sendiri yang versi bajakan. Dia pun hanya bisa tersenyum sambil lalu. Kecewa akibat pembajakan yang terjadi di Indonesia ini, Andrea Hirata lebih memilih untuk menerbitkan karyanya di luar negeri.
Lalu, pantaskah kita hanya mengelus dada dan membiarkan buku-buku bajakan ini semakin merajalela? Pembajakan buku di Indonesia ini adalah kasus yang lumayan pelik karena berhubungan dengan banyak pihak. Namun, yang paling terlihat dari kasus ini adalah ketidaktegasan pemerintah dalam menerapkan hukum di Indonesia. Terlalu lama dibiarkan akan membangun sikap kebiasaan yang mengakar.
Pada November 2009 lalu, kios-kios buku di Pasar Senen ini pernah dirazia oleh tim gabungan dari Polsektro Senen dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Polisi berhasil menyita sekitar 1000 buku bajakan. Sayang, ketika “terapi kejut” bagi para pedagang buku-buku bajakan di Pasar Senen ini berlangsung, sejumlah kios langsung tutup sehingga razia dadakan ini tidak bisa dilakukan menyeluruh. Alhasil, penggrebekan ini pun tak berbuntut pada penggusuran. Tak heran, hal ini tidak menciutkan hati para penjual untuk tetap menjual buku-buku dagangannya di Pasar Senen.
Jimmy sendiri mengaku, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sering datang ke Pasar Senen untuk melakukan razia secara dadakan.
“Ya, pintar-pintarnya kita aja. Buku-buku yang bajakan kita amanin. Yang di-display yang asli,” akunya.
Bahkan, Jimmy sendiri mengaku, banyak polisi yang membeli buku-buku yang dijualnya.
“Sering. Kadang dia beli buku untuk anaknya atau buat keluarganya, kadang buat dia pribadi juga dia beli,” ungkapnya.
Hmm... di balik semua itu, ternyata kasus ini seakan ter-cover oleh pihak keamanan Pasar Senen itu sendiri. Bukan tidak mungkin apabila kasus pembajakan buku ini kian berlarut-larut lamanya tanpa penyelesaian pasti.
Lalu, apakah kejadian serupa akan kembali terjadi?
“Ada rencana digusur sih enggak, tapi adanya pemindahan dari Pasar Senen Jaya ini. Yang paling ditakutin dibakar doang. Takut itu! Ibarat kata kalau dibakar – amit-amit sih jangan ya- dari penggusuran katanya gedung ini nggak layak pakai. Tapi, ada mahasiswa dari mana gitu, katanya gedung ini masih layak dipakai untuk lima tahun ke depan,” cerita Jimmy sambil mengembuskan asap rokok dari dalam mulutnya. Sesekali dia menawarkan dagangannya kepada calon pembeli yang melintasi kiosnya.
Namun, lagi-lagi Undang-undang di Indonesia belumlah tegas. Bisa kita lihat perbandingannya di negara-negara lain, Amerika misalnya. Penulis masih bisa berlindung di balik Undang-undang Hak Cipta.
Tunggu dulu. Siapa bilang Indonesia tidak memiliki Undang Hak Cipta? Punya. Ada UU Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hak ini diperuntukkan bagi pencipta atau penerima hak untuk memberi izin dalam penggandaan karya miliknya. Hal ini tidak akan membatasi peraturan yang berlaku sehingga hak cipta ini tentu saja sangat menguntungkan para penulis. Bagi siapapun yang melanggar hak eksklusif ini, akan dikenakan hukuman penjara dan denda milyaran rupiah.
Penulis hanya tinggal mendaftarkan Hak Cipta atas karyanya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Meski membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, setidaknya para penulis memiliki hak paten atas karyanya.
E-Book, Solusi Pembajakan Buku?
Melihat makin maraknya kasus pembajakan buku yang ada di Pasar Senen, tentu bukan pihak berwenang saja yang harus memutar otak dan memikirkan solusi terbaik untuk memberantas pembajakan buku ini. Namun, masyarakat Indonesia pun juga harus turut berpartisipasi. Pertanyaan yang selalu berdengung di telinga, apa solusi yang tepat atas pembajakan buku ini?
An Kaliman, pendiri sekaligus pemilik Papataka.com, situs e-book store pertama di Indonesia melihat adanya peluang dari buku elektronik. Papataka.com meggunakan Digital Rights Management dalam setiap e-book yang dijual sehingga hanya pembeli yang telah terkoneksi dan terdaftar dengan ID yang bisa membaca buku. E-book legal seperti ini dianggap dapat mengurangi pembajakan buku di Indonesia.
“Para penerbit sesungguhnya tidak perlu terlalu khawatir pada masalah pembajakan buku karena buku cetak sebenarnya lebih gampang dibajak daripada e-book. Untuk membajak buku cetak kita tinggal fotokopi saja, tapi untuk membajak e-book diperlukan seorang programmer atau hacker,” uangkapnya, seperti yang dikutip dari Majalah Insight, edisi April 2012.
Namun, lagi-lagi sangat disayangkan. Masyarakat seakan menutup mata, telinga, dan hati nurani. Mereka lebih “cerdas” dibanding kelihatannya. E-book ilegal kini sudah bertebaran di mana-mana. Masyarakat dapat mengunduhnya secara gratis di berbagai situs penyedia jasa buku elektronik. Kini, kerugian pun semakin berlipat ganda. Tak terbayang bagaimana pihak-pihak berwenang seharusnya bertindak.
Semacam guilty pleasure. Sudah tahu pembajakan buku itu salah dan merugikan banyak pihak, tetapi masih saja dilakukan. Apakah tidak takut dipenjara? Ya, takut. Semua orang pasti takut. Apa tidak taku merugikan penulis? Entahlah, mereka hanya pedagang yang hanya menjual saja. Bersedia dapat sanksi? Kali ini Jimmy mengelak.
“Ya, sekarang kalau kita nggak jual, orang-orang itu carinya yang murah. Bajakan nggak apa-apa. Semua tergantung pembeli. Kalau pembeli maunya yang ori ya ori kita kasih, tapi kalau harganya masuk ya kita kasih. Kalau harganya nggak masuk? Misal, modal buku mahasiswa 80 ribu, dia nawar 60 ribu. Kita kasih yang KW, tapi KW-nya bagus. Nih... ada KW bagus, KW super, KW satu, ya kita kasih.”
Lucya Andam Dewi, Ketua IKAPI turut menanggapi persoalan ini. Dia mengatakan, perlu adanya support dari masyarakat guna memberantas pembajakan buku ini. Sebab, masyarakat banyak yang tidak menyadari kalau membeli buku-buku bajakan sama saja dengan mengurangi hak penulis dan penerbit.
“Karena buku bajakan, penulis jadi malas mengeluarkan karya-karyanya yang lain karena pendapatan royalti mereka berkurang. Penerbit akan bangkrut secara perlahan-lahan dan akhirnya gulung tikar,” tutur Lucya, seperti yang dilansir dari http://senjadibandara.wordpress.com. Dia pun menambahkan, “Pemerintah harus bisa lebih aktif menggairahkan industri buku dalam upaya menciptakan harga buku murah serta berkualitas. Bagaimana bisa kita menerbitkan buku murah dan berkualitas kalau tidak ada dukungan dari pemerintah untuk segala hal.”
Selama kesadaran masyarakat akan pentingnya membeli barang asli belum juga terlaksana dengan baik, maka kasus pembajakan ini tidak akan pernah selesai. Namun, hal ini pun masih bisa diminimalisasi dengan memberikan edukasi dan sosialisasi tentang keuntungan membeli barang non-bajakan bagi banyak pihak dalam skala luas.
Pertanyaannya, mau sampai kapan pembajakan buku ini terus dibiarkan?
“Oooo... sampai ada pengganti pekerjaan yang lebih baik dan pastinya yang penghasilannya lebih besar. Jujur, Abang sudah jenuh saat ini. Lagian, sekarang ini lagi sepi banget,” kata Jimmy santai.
Jimmy pun kembali duduk di depan kios kecilnya dan menelan beberapa teguk air dari botol air berukuran 1500 ml. Sambil sesekali menyapa kerabatnya yang juga sesama penjual buku bajakan, dia memerhatikan orang-orang yang lalu lalang di depan kiosnya. Tak dipedulikannya suasana panas dan pengap Pasar Senen yang membuat peluh membanjiri tubuhnya, dia tetap menawari buku-buku yang dijualnya kepada para calon pembeli.
“Cari buku apa, Neng? Sini, masuk aja dulu....”
“Cari buku apa, Neng? Sini, masuk aja dulu....”
Oleh Sintia Astarina - 11140110048
Tugas Mata Kuliah Penulisan Feature
No comments:
Post a Comment