Wednesday, June 19, 2013

Sabar, itu Kunci Paling Ampuh!

“Halo, kakak.”

Akhsan menuntun saya menuju papan tulis yang ada di depan kelas. Kelas yang terbilang mungil untuk ukuran sekolah negeri. Ya sekitar 3x5 meter saja. Terdapat sepuluh meja dan sepuluh kursi untuk murid. Dan satu meja dan satu kursi untuk sang guru. Pada kesepuluh meja dan kursi bercat coklat ini terdapat tulisan “BANSOS DIKDAS 2011” yang berwarna putih. Pada tembok kelas terlihat beberapa lembar kertas yang sengaja ditempel. Seperti kertas denah tempat duduk, kertas jadwal mata pelajaran, kertas jadwal piket, bahkan hasil karya anak-anak yang menempati kelas ini sendiri.

Suasana kelas yang tak pernah rapi.

“Kakak bisa baca yang ini nggak?”, tanya Akhsan dengan lugu sambil menunjuk papan tulis yang bertuliskan “Alat untuk mandi” dengan tinta spidol bewarna biru, karena pada saat itu sedang berlangsung pelajaran Bina Diri.

Akhsan adalah salah satu siswa yang Murni didik di Sekolah Khusus Yayasan Karya Dharma Wanita (YKDW), Karawaci Baru, Tangerang, Banten. Murni adalah wali kelas Akhsan dan kesembilan anak autis lainnya.

Sekolah yang sudah ada sejak tahun 1981 ini merupakan sekolah luar biasa (SLB) bagian C untuk anak tuna grahita dan autis. Maka tak heran jika melihat papan yang berada di pintu-pintu kelas yang ditandai dengan pengenal bertuliskan “I-C, II-C, III-C, IV-C, V-C, VI-C”.

***

Berdasarkan urutan sejarah berdirinya, kategori kecacatan SLB itu dikelompokkan menjadi enam kategori, yaitu SLB bagian A untuk anak tuna netra, SLB bagian B untuk anak tuna rungu, SLB bagian C untuk anak tuna grahita, SLB bagian D untuk anak tuna daksa, SLB bagian E untuk anak tuna laras, lalu yang terakhir ada SLB bagian F untuk anak tuna ganda.

Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Ini artinya seluruh warga negara berhak mendapatkan pengajaran tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan seperti anak autis ini.

Dikutip dari edukasi.kompasiana.com, pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, yakni sebagai berikut:

Bab IV (pasal 5 ayat 1), Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial, berhak memperoleh pendidikan khusus.
Bab V bagian 11, Pendidikan Khusus (pasal 32 ayat 1), Pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki potensi kecerdasan.

***

Dengan logat jawanya, Murni mengaku bahwa menjadi guru di sekolah luar biasa bukanlah impiannya. Ia memiliki impian untuk bekerja di Departemen Sosial. Tahun 1998, sewaktu pengambilan jurusan, kebetulan sekali Murni tidak masuk. Lalu temannya lah yang memilih jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB), spealisasi tuna laras dan tuna wicara.

“Ya, namanya mahasiswa kan, ada temen segrup, diambilin lah itu jurusan plb,” ucapnya dengan diiringi tawa.

Setelah lulus kuliah, ia merantau ke Tangerang. Ia merasa bosan sudah mengenyam pendidikan hingga kuliah di Jawa, maka ia memutuskan untuk merantau. Karena kebetulan juga waktu itu orang tuanya memang berada di Jakarta. Sebelum bekerja di sekolah khusus ini, ia mencoba melamar pekerjaan di LP, namun tak diterima karena Murni lulusan dari Dinas Pendidikan. Pihak LP-pun menyarankan Murni untuk melamar saja ke sekolah tempatnya ia mengajar sekarang, karena pada waktu itu sekolah ini kekurangan pengajar. Maka ia pun resmi menjadi guru di Sekolah Khusus Yayasan Karya Dharma Wanita ini sejak tahun 2004.

Dua tahun terakhir ini, Murni ditugaskan untuk menjadi guru kelas anak autis. Khususnya kelas 5 SD. Kelas yang ia pegang ini terdiri dari 10 murid saja. Anak-anak itu antara lain Aditya Aji, Cindy Wijaya, Fajar Mahendra, Rakha Azhari, Akhsan W, Dewi Apriyani, Fauzan R, Dwi Kartika Sari, Nico, dan Arif Fahrudin. Murni mengaku mempunyai penanganan khusus dan berbeda pada setiap murid.

Dikutip dari wikipedia.org, autis adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir atau pada saat balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya, anak tersebut terisolasi dari manusia lain. Ada enam gangguan yang menjadi karakteristik dari anak autisme, yakni gangguan interaksi sosial, konumikasi (bahasa dan bicara), perilaku-emosi, pola bermain, gangguan sensorik dan motorik, serta perkembangan terlambat atau tidak normal. Gejala ini biasanya mulai tampak sejak lahir, atau sebelum anak berusia 3 tahun.

Sedangkan tuna grahita adalah kelainan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada mental intelektual sejak bayi atau dalam kandungan yang disebabkan oleh faktor biologis maupun faktor fungsional. Ciri-ciri anak yang mengalami tuna grahita antara lain kecerdasannya sangat terbatas, mereka tidak mampu mengurus diri sendiri, sehingga selalu memerlukan bantuan orang lain. Daya ingat mereka juga lemah, keterbatasan minat, emosi yang sangat labil. Mereka juga akan acuh terhadap sekitarnya. Secara fisik, badan mereka terlihat membungkuk, raut wajah yang datar, mulut melongo, dan matanya terlihat sipit.

Walaupun Murni jebolan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, jurusan Pendidikan Luar Biasa, ia tetap kewalahan mengatur sepuluh anak autis yang dititipkan padanya. Apalagi masing-masing dari anak tersebut memiliki ‘kenakalan-kenakalan’ yang berbeda. Contohnya saja pada Nico. Ia adalah anak didik Murni kelahiran tahun 1995. Salah satu ciri anak autis adalah tidak mampun mengurus dirinya sendiri, maka tak heran jika buang air kecil saja, Nico masih dibantu oleh orang tuanya.

“Itu si Nico, pipis aja burungnya masih dipegangin sama mamanya. Mamanya kan nungguin tiap hari tuh,” ucap Murni sambil terkekeh.

“Harusnya kan anak kelahiran tahun 1995 udah SMA. Tapi ini masih kelas 5 SD, ya maklumlah ya,” lanjutnya.

Padahal penanganan yang tepat terhadap anak-anak seperti itu adalah membiarkan mereka melakukan segala sesuatunya sendiri, seperti anak normal pada umumnya. Misalnya saja, biarkan anak memakai pakaiannya sendiri, walaupun dibantu orang tua, tapi biarkan mereka terbiasa melakukan kegiatan sehari-hari seperti memakai pakaian dengan usahanya sendiri. Yang penting prosesnya.

Murni mengaku senang menjadi tenaga pengajar untuk anak-anak autis di sekolah ini. Karena ia bisa bertemu dan bertukar pengalaman dengan guru-guru yang sejurusan dengan dirinya. Menurut pengakuan Elis, teman seprofesi Murni, walaupun anak-anak disini memiliki keterbelakangan mental, tetapi mereka anak yang menyenangkan. Bahkan mereka bisa lebih jeli jika dibandingkan dengan anak normal.

“Mereka juga suka memprotes baju gurunya kalo keseringan dipake”, timpal Murni.

“Iya bener tuh,” omongan Murni dibenarkan dengan cepat oleh Elis yang duduk di sofa persis sebelah Murni.

Murni juga pernah ingin dicium oleh salah satu muridnya sendiri. “Walaupun mental mereka terbelakang, tapi perasaan sayangnya biasa seperti orang normal. Mungkin dia pengen cium saya karena rasa sayang terhadap gurunya.”

Murni merasa kesulitan jika anak didiknya mengamuk secara tiba-tiba di dalam kelas. Ia mengaku sempat kewalahan menghadapi kelakukan mereka. Tetapi karena ia ingat bahwa mereka adalah anak-anak dengan mental yang terbelakang, maka ia pun menahan amarah dengan bersabar.

“Mau marah juga gimana, mereka gak ngerti apa-apa. Lagian kalau saya balik marah, mereka malah ketawa-tawa. Mereka kalau ngamuk spontan langsung ngegigit, langsung menyakar,”wanita 33 tahun ini menceritakan dengan antusias sambil memperlihatkan pergelangan tangan kanannya yang dicakar oleh Nico.

***

“Yang penting anaknya mengerti dengan apa yang saya ajarkan.”

Inilah prinsip yang Murni pegang selama mengajar. Ia tak berharap lebih terhadap anak-anak didiknya harus menjadi pintar layaknya anak pintar pada sekolah anak normal. Yang ia prioritaskan adalah kepahaman anak terhadap pelajaran yang diberikan oleh Murni selama jam sekolah berlangsung.

Suasana kelas sesaat sebelum anak-anaknya dipulangkan
Jangan Anda bayangkan pembelajaran kelas 5 SD anak normal setara dengan pelajaran anak kelas 5 SD di sekolah khusus anak dengan mental terbelakang ini, tentu sangat amat berbeda sekali. Jika pelajaran Matematika pada kelas 5 SD anak normal diajarkan perkalian dan pembagian angka, namun di Skh ini anak kelas 5 SD hanya diajarkan pertambahan atau pengurangan angka sederhana saja. Ini terlihat ketika anak-anak didik Murni akan dipulangkan saat bel sekolah berbunyi, Murni memberi mereka pertanyaan mengenai pertambahan angka sederhana.

“Cindy, 5 ditambah 4, berapa?” tanya Murni dengan suara lantang kepada sang ketua kelas.

Anak yang dipanggil pun dengan sigap menghitung dengan bantuan kesepuluh jarinya. Karena ia bisa menjawab pertanyaan sang guru dengan benar, maka ia pun boleh pulang.

Anak berikutnya yang kebagian pertanyaan adalah Akhsan, anak yang paling iseng menurut ibu dua anak ini.
“Akhsan, 4 ditambah 5, berapa?”

Sama seperti Cindy, Akhsan pun mencoba menjawab pertanyaan sang wali kelas dengan bantuan jari-jari mungilnya. Murni pun melakukan hal serupa kepada keenam sisa anak yang berada di dalam kelas pada hari itu. Tentunya dengan angka sederhana yang berbeda-beda pada setiap anaknya.

Salah satu murid yang sedang berhitung agar bisa pulang
Menurut cerita Murni, Akhsan mengalami penyakit Hydrocepalus. Tentu ini membingungkan karena jika melihat anak ini secara langsung, kita tidak akan melihat besarnya kepala Akhsan. Karena ciri-ciri pasien pengidap peyakit Hydrocepalus adalah kepalanya akan lebih besar daripada tubuhnya sendiri.

Ini adalah Akhsan
“Anak itu sudah koma. Orang tuanya sudah kemari, minta maaf sama guru-guru, memohon ampun untuk segala perbuatan yang sudah dilakukan Akhsan selama di sekolah. Tapi Alhamdulillah sekarang anak itu udah bisa sekolah lagi,” ungkap Murni dengan raut wajah sedih.

“Tapi itu anak juga isengnya kebangetan,” lanjutnya dengan nada kesal dan dilanjutkan dengan tawa.

Akhsan pernah menjahili salah satu teman sekelasnya, Arif, dengan melempar penghapus karet milik Arif keluar jendela kelas mereka.

Murni menegur Akhsan dengan nada agak tinggi, “San, kamu ya yang ngebuang penghapus Arif?”

“Ngga, bu” jawab Akhsan dengan nada polos dan memperlihatkan kedua telapak tangannya yang kosong.

***

Kesabaran Murni dan ke 39 guru lainnya di sekolah ini diuji ketika anak yang mereka didik tiba-tiba memberontak dan tidak mau belajar. Menurut Murni, menghandle anak-anak yang sedang seperti itu penanganannya berbeda-beda. Tergantung perilaku dari anaknya sendiri.

Jika salah satu anak didiknya ‘kambuh’, ia akan mengajak sang anak untuk bermain. “Buat si anak seneng dulu, balikin mood dia jadi bagus lagi. Nanti kalo udah kaya gitu, baru deh lanjut lagi belajarnya.”

Tetapi jika mood sang anak tak kunjung kembali, maka Murni pun tak bisa berbuat banyak selain memperhatikan tingkah laku lucu sang anak.

“Mereka tuh kadang-kadang nyebelin, bikin kesel. Tapi terkadang mereka juga bisa bikin kita tertawa karena tingkah laku mereka yang konyol”

Ya, kuncinya mengajar anak terbelakang adalah sabar. Mau marah dan kesal seperti apapun kepada mereka, mereka tak akan pernah mengerti apa yang kita rasakan. J


Oleh Ella Elsadilaga 

No comments:

Post a Comment