“Halo,
kakak.”
Akhsan
menuntun saya menuju papan tulis yang ada di depan kelas. Kelas yang terbilang
mungil untuk ukuran sekolah negeri. Ya sekitar 3x5 meter saja. Terdapat sepuluh
meja dan sepuluh kursi untuk murid. Dan satu meja dan satu kursi untuk sang
guru. Pada kesepuluh meja dan kursi bercat coklat ini terdapat tulisan “BANSOS
DIKDAS 2011” yang berwarna putih. Pada tembok kelas terlihat beberapa lembar
kertas yang sengaja ditempel. Seperti kertas denah tempat duduk, kertas jadwal
mata pelajaran, kertas jadwal piket, bahkan hasil karya anak-anak yang
menempati kelas ini sendiri.
Suasana kelas yang tak pernah rapi. |
“Kakak
bisa baca yang ini nggak?”, tanya Akhsan dengan lugu sambil menunjuk papan
tulis yang bertuliskan “Alat untuk mandi” dengan tinta spidol bewarna biru,
karena pada saat itu sedang berlangsung pelajaran Bina Diri.
Akhsan
adalah salah satu siswa yang Murni didik di Sekolah Khusus Yayasan Karya Dharma
Wanita (YKDW), Karawaci Baru, Tangerang, Banten. Murni adalah wali kelas Akhsan
dan kesembilan anak autis lainnya.
Sekolah
yang sudah ada sejak tahun 1981 ini merupakan sekolah luar biasa (SLB) bagian C
untuk anak tuna grahita dan autis. Maka tak heran jika melihat papan yang
berada di pintu-pintu kelas yang ditandai dengan pengenal bertuliskan “I-C,
II-C, III-C, IV-C, V-C, VI-C”.
***
Berdasarkan
urutan sejarah berdirinya, kategori kecacatan SLB itu dikelompokkan menjadi
enam kategori, yaitu SLB bagian A untuk anak tuna netra, SLB bagian B untuk
anak tuna rungu, SLB bagian C untuk anak tuna grahita, SLB bagian D untuk anak
tuna daksa, SLB bagian E untuk anak tuna laras, lalu yang terakhir ada SLB
bagian F untuk anak tuna ganda.
Dalam
UUD 1945 pasal 31 ayat 1, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
Ini artinya seluruh warga negara berhak mendapatkan pengajaran tanpa terkecuali
apakah dia mempunyai kelainan seperti anak autis ini.
Dikutip
dari edukasi.kompasiana.com, pada
tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut dikemukakan hal-hal
yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan
pendidikan khusus, yakni sebagai berikut:
Bab IV (pasal 5 ayat 1), Setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, baik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial, berhak memperoleh pendidikan
khusus.
Bab V bagian 11, Pendidikan Khusus (pasal 32 ayat 1),
Pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau
memiliki potensi kecerdasan.
***
Dengan
logat jawanya, Murni mengaku bahwa menjadi guru di sekolah luar biasa bukanlah
impiannya. Ia memiliki impian untuk bekerja di Departemen Sosial. Tahun 1998,
sewaktu pengambilan jurusan, kebetulan sekali Murni tidak masuk. Lalu temannya
lah yang memilih jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB), spealisasi tuna laras dan
tuna wicara.
“Ya,
namanya mahasiswa kan, ada temen segrup, diambilin lah itu jurusan plb,”
ucapnya dengan diiringi tawa.
Setelah
lulus kuliah, ia merantau ke Tangerang. Ia merasa bosan sudah mengenyam
pendidikan hingga kuliah di Jawa, maka ia memutuskan untuk merantau. Karena
kebetulan juga waktu itu orang tuanya memang berada di Jakarta. Sebelum bekerja
di sekolah khusus ini, ia mencoba melamar pekerjaan di LP, namun tak diterima
karena Murni lulusan dari Dinas Pendidikan. Pihak LP-pun menyarankan Murni
untuk melamar saja ke sekolah tempatnya ia mengajar sekarang, karena pada waktu
itu sekolah ini kekurangan pengajar. Maka ia pun resmi menjadi guru di Sekolah
Khusus Yayasan Karya Dharma Wanita ini sejak tahun 2004.
Dua
tahun terakhir ini, Murni ditugaskan untuk menjadi guru kelas anak autis.
Khususnya kelas 5 SD. Kelas yang ia pegang ini terdiri dari 10 murid saja.
Anak-anak itu antara lain Aditya Aji, Cindy Wijaya, Fajar Mahendra, Rakha Azhari,
Akhsan W, Dewi Apriyani, Fauzan R, Dwi Kartika Sari, Nico, dan Arif Fahrudin.
Murni mengaku mempunyai penanganan khusus dan berbeda pada setiap murid.
Dikutip
dari wikipedia.org, autis adalah
suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir atau pada saat balita yang membuat
dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
Akibatnya, anak tersebut terisolasi dari manusia lain. Ada enam gangguan yang
menjadi karakteristik dari anak autisme, yakni gangguan interaksi sosial, konumikasi
(bahasa dan bicara), perilaku-emosi, pola bermain, gangguan sensorik dan
motorik, serta perkembangan terlambat atau tidak normal. Gejala ini biasanya
mulai tampak sejak lahir, atau sebelum anak berusia 3 tahun.
Sedangkan
tuna grahita adalah kelainan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada mental
intelektual sejak bayi atau dalam kandungan yang disebabkan oleh faktor
biologis maupun faktor fungsional. Ciri-ciri anak yang mengalami tuna grahita
antara lain kecerdasannya sangat terbatas, mereka tidak mampu mengurus diri
sendiri, sehingga selalu memerlukan bantuan orang lain. Daya ingat mereka juga
lemah, keterbatasan minat, emosi yang sangat labil. Mereka juga akan acuh
terhadap sekitarnya. Secara fisik, badan mereka terlihat membungkuk, raut wajah
yang datar, mulut melongo, dan matanya terlihat sipit.
Walaupun
Murni jebolan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, jurusan Pendidikan Luar
Biasa, ia tetap kewalahan mengatur sepuluh anak autis yang dititipkan padanya.
Apalagi masing-masing dari anak tersebut memiliki ‘kenakalan-kenakalan’ yang
berbeda. Contohnya saja pada Nico. Ia adalah anak didik Murni kelahiran tahun
1995. Salah satu ciri anak autis adalah tidak mampun mengurus dirinya sendiri,
maka tak heran jika buang air kecil saja, Nico masih dibantu oleh orang tuanya.
“Itu
si Nico, pipis aja burungnya masih dipegangin sama mamanya. Mamanya kan
nungguin tiap hari tuh,” ucap Murni sambil terkekeh.
“Harusnya
kan anak kelahiran tahun 1995 udah SMA. Tapi ini masih kelas 5 SD, ya maklumlah
ya,” lanjutnya.
Padahal
penanganan yang tepat terhadap anak-anak seperti itu adalah membiarkan mereka
melakukan segala sesuatunya sendiri, seperti anak normal pada umumnya. Misalnya
saja, biarkan anak memakai pakaiannya sendiri, walaupun dibantu orang tua, tapi
biarkan mereka terbiasa melakukan kegiatan sehari-hari seperti memakai pakaian
dengan usahanya sendiri. Yang penting prosesnya.
Murni
mengaku senang menjadi tenaga pengajar untuk anak-anak autis di sekolah ini.
Karena ia bisa bertemu dan bertukar pengalaman dengan guru-guru yang sejurusan
dengan dirinya. Menurut pengakuan Elis, teman seprofesi Murni, walaupun
anak-anak disini memiliki keterbelakangan mental, tetapi mereka anak yang
menyenangkan. Bahkan mereka bisa lebih jeli jika dibandingkan dengan anak
normal.
“Mereka
juga suka memprotes baju gurunya kalo keseringan dipake”, timpal Murni.
“Iya
bener tuh,” omongan Murni dibenarkan dengan cepat oleh Elis yang duduk di sofa
persis sebelah Murni.
Murni
juga pernah ingin dicium oleh salah satu muridnya sendiri. “Walaupun mental
mereka terbelakang, tapi perasaan sayangnya biasa seperti orang normal. Mungkin
dia pengen cium saya karena rasa sayang terhadap gurunya.”
Murni
merasa kesulitan jika anak didiknya mengamuk secara tiba-tiba di dalam kelas.
Ia mengaku sempat kewalahan menghadapi kelakukan mereka. Tetapi karena ia ingat
bahwa mereka adalah anak-anak dengan mental yang terbelakang, maka ia pun
menahan amarah dengan bersabar.
“Mau
marah juga gimana, mereka gak ngerti apa-apa. Lagian kalau saya balik marah,
mereka malah ketawa-tawa. Mereka kalau ngamuk spontan langsung ngegigit,
langsung menyakar,”wanita 33 tahun ini menceritakan dengan antusias sambil
memperlihatkan pergelangan tangan kanannya yang dicakar oleh Nico.
***
“Yang
penting anaknya mengerti dengan apa yang saya ajarkan.”
Inilah
prinsip yang Murni pegang selama mengajar. Ia tak berharap lebih terhadap
anak-anak didiknya harus menjadi pintar layaknya anak pintar pada sekolah anak
normal. Yang ia prioritaskan adalah kepahaman anak terhadap pelajaran yang
diberikan oleh Murni selama jam sekolah berlangsung.
Suasana kelas sesaat sebelum anak-anaknya dipulangkan |
Jangan
Anda bayangkan pembelajaran kelas 5 SD anak normal setara dengan pelajaran anak
kelas 5 SD di sekolah khusus anak dengan mental terbelakang ini, tentu sangat
amat berbeda sekali. Jika pelajaran Matematika pada kelas 5 SD anak normal
diajarkan perkalian dan pembagian angka, namun di Skh ini anak kelas 5 SD hanya
diajarkan pertambahan atau pengurangan angka sederhana saja. Ini terlihat
ketika anak-anak didik Murni akan dipulangkan saat bel sekolah berbunyi, Murni
memberi mereka pertanyaan mengenai pertambahan angka sederhana.
“Cindy,
5 ditambah 4, berapa?” tanya Murni dengan suara lantang kepada sang ketua
kelas.
Anak
yang dipanggil pun dengan sigap menghitung dengan bantuan kesepuluh jarinya.
Karena ia bisa menjawab pertanyaan sang guru dengan benar, maka ia pun boleh
pulang.
Anak
berikutnya yang kebagian pertanyaan adalah Akhsan, anak yang paling iseng
menurut ibu dua anak ini.
“Akhsan,
4 ditambah 5, berapa?”
Sama
seperti Cindy, Akhsan pun mencoba menjawab pertanyaan sang wali kelas dengan
bantuan jari-jari mungilnya. Murni pun melakukan hal serupa kepada keenam sisa
anak yang berada di dalam kelas pada hari itu. Tentunya dengan angka sederhana
yang berbeda-beda pada setiap anaknya.
Salah satu murid yang sedang berhitung agar bisa pulang |
Menurut
cerita Murni, Akhsan mengalami penyakit Hydrocepalus.
Tentu ini membingungkan karena jika melihat anak ini secara langsung, kita
tidak akan melihat besarnya kepala Akhsan. Karena ciri-ciri pasien pengidap
peyakit Hydrocepalus adalah kepalanya
akan lebih besar daripada tubuhnya sendiri.
Ini adalah Akhsan |
“Anak
itu sudah koma. Orang tuanya sudah kemari, minta maaf sama guru-guru, memohon
ampun untuk segala perbuatan yang sudah dilakukan Akhsan selama di sekolah. Tapi
Alhamdulillah sekarang anak itu udah bisa sekolah lagi,” ungkap Murni dengan
raut wajah sedih.
“Tapi
itu anak juga isengnya kebangetan,” lanjutnya dengan nada kesal dan dilanjutkan
dengan tawa.
Akhsan
pernah menjahili salah satu teman sekelasnya, Arif, dengan melempar penghapus
karet milik Arif keluar jendela kelas mereka.
Murni
menegur Akhsan dengan nada agak tinggi, “San, kamu ya yang ngebuang penghapus
Arif?”
“Ngga,
bu” jawab Akhsan dengan nada polos dan memperlihatkan kedua telapak tangannya
yang kosong.
***
Kesabaran
Murni dan ke 39 guru lainnya di sekolah ini diuji ketika anak yang mereka didik
tiba-tiba memberontak dan tidak mau belajar. Menurut Murni, menghandle anak-anak yang sedang seperti itu
penanganannya berbeda-beda. Tergantung perilaku dari anaknya sendiri.
Jika
salah satu anak didiknya ‘kambuh’, ia akan mengajak sang anak untuk bermain. “Buat
si anak seneng dulu, balikin mood dia
jadi bagus lagi. Nanti kalo udah kaya gitu, baru deh lanjut lagi belajarnya.”
Tetapi
jika mood sang anak tak kunjung
kembali, maka Murni pun tak bisa berbuat banyak selain memperhatikan tingkah
laku lucu sang anak.
“Mereka
tuh kadang-kadang nyebelin, bikin kesel. Tapi terkadang mereka juga bisa bikin
kita tertawa karena tingkah laku mereka yang konyol”
Ya,
kuncinya mengajar anak terbelakang adalah sabar. Mau marah dan kesal seperti
apapun kepada mereka, mereka tak akan pernah mengerti apa yang kita rasakan. J
Oleh Ella Elsadilaga
No comments:
Post a Comment