Wednesday, June 19, 2013

Berdoa, Berwisata, dan Berbuat Baik di Boen San Bio







Arahang sammâ Sambuddho Bhagavâ. Imehi sakkarehi tang Bhagavantang abhipujayama.
Svâkhâto Bhagavatâ Dhamma. Imehi sakkarehi tang Dhammang abhipujâyama.
Supatipanno Bhagavato sâvâakâ sangho. Imehi sakkarehi tang Sanghang abhipujâyama.


Pemimpin kebaktian memulai ibadat di Ruang Dhammasala, Vihara Boen San Bio. Sembari mengucapkan serentetan doa, merek meletakkan tangan di dahi, lalu diturunkan sedada. Mereka pun ber-namaskara (duduk bersila) sambil mengikuti pemimpin kebaktian.

Setiap minggunya, umat datang rutin untuk mengikuti kebaktian yang diadakan seksi kerohanian. Sebelum memasuki Ruang Dhammasala, patung Dewi Kwan Im Pouw Sat setinggi tiga meter menyambut. Saat memasuki ruang kebaktian, terpampang patung Buddha di altar depan dengan tinggi yang sama. Mereka yang menganut ajaran Theravada ini pun membaca buku Parita Suci sambil memanjatkan doa kembali.

Namo tassa bhagavato arahato samma sambuddhassa. Pujilah Sang Bhagava, Sang Buddha yang telah mencapai penerangan dan Kebijaksanaan Sempurna. Namo sabbe Bodhisattaya – Mahasattya. Pujilah para Bodhisatva – Mahasatva, mahkluk-mahkluk suci nan luhur budinya.

Dapat kita hirup bau hio yang menusuk hidung. Mata pun ikut terasa pedih karena aspanya. Suasana yang khusyuk saat membacakan doa-doa membuat seluruh umat yang hadir lebih berkonsentrasi.

“Kalau kebaktian, biasanya membaca Parita, mendengarkan dhama (khotbah), dan ber-dharma gita,” ujar Albert, staff tata usaha yang sehari-harinya mengurusi operasional vihara.

Selain ruang kebaktian, kita bisa melihat berbagai keunikan dan ciri khas lain di tempat ibadah ini. Salah satunya, pada bagian atap bangunan utama tampak sepasang burung fenghuang (burung phoenix) dengan sebutir mutiara di tengah-tengahnya. Lalu, ketika memasuki vihara yang dibangun oleh Lim Tau Koen pada 1689 ini, ratusan lampion merah tergantung rapi di atap-atap. Di bawahnya, terdapat sebuah nama pada masing-masing lampion. Hal ini menandakan suatu perwujudan doa manusia agar doanya dapat dikabulkan oleh Sang Buddha.

Di halaman depan, terdapat thian sin lo terbesar di Indonesia. Dengan berat 4.888 kg, tinggi 120 cm, dan diameter 150 cm, tempat menaruh hio atau dupa ini mendapatkan rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Thian sin lo ini terbuat dari batu onix, sejenis marmer yang berasal dari Poso, Sulawesi. Tak hanya tempat hio ini saja yang terbuat dari batu onix, tetapi juga seluruh patung yang terdapat di Vihara Boen San Bio ini. Hal ini supaya patung-patung tersebut terlihat lebih megah dan apabila terjadi kebakaran, tidak akan hancur.

Boen San Bio yang didominasi warna merah, kuning, dan biru ini memiliki arti kebajikan setinggi gunung. Hal ini tercermin dari bangunan yang menjulang tinggi dengan pagoda-pagoda di atasnya. Bahkan, terdapat beberapa candi menghiasi atap Ruang Dhammasala. Nuansa rohani memang begitu lekat pada vihara yang terletak di Pasar Baru, Tangerang ini.

Selain menyembah Sang Buddha, umat juga menyembah Dewa Bumi, Kong Co. Ia adalah seorang yang tua, berambut dan berjenggot putih panjang, wajah tersenyum ramah. Dewa yang juga disebut sebagai Dewa Hok Tek Tjeng Sin ini terletak di altar utama karena merupakan dewa tertua yang sangat dipercayai masyarakat China. Total, ada 16 altar di mana umat Buddha bersembahyang. Setiap altar diberi nomor urut agar umat tidak bingung ketika membawa hio mereka dari altar satu ke altar lain, berdoa kepada dewa-dewa di sana. Sam Kai Kong, Bie Lek Hud, Jie Lay Hud, Kwan Im Hud Cow, Co Shu Kong, Pek How Pek Coa, Kwee Sheng Ong, Kwen Tek Kum, dan Pat Sien Kwe Hay.

Vihara yang buka pada pukul 7 pagi hingga 12 malam ini nyatanya juga terkenal akan keindahannya sebagai tempat wisata.

“Banyak yang berkunjung kalau ada perayaan. Se-Jabodetabek. Ada juga yang dari luar negeri, datang untuk foto-foto,” tukas Albert yang sudah bekerja selama 15 tahun di vihara ini.

Taman yang terdapat di tengah vihara biasa digunakan umat untuk bersantai atau mengobrol. Bahkan, tak jarang calon pengantin yang memanfaatkan keindahannya guna melakukan sesi foto untuk pre-wedding.  Tak disangka, taman ini menyatukan unsur air, api, tanah, dan udara menjadi satu.

Ketika berkeliling vihara, pada bagian belakang dapat kita temukan Sumur Sumber Rezeki. Sumur ini dikelilingi oleh 8 pancuran air yang mengelilingi sumber air. Dulu, sumur ini dimanfaatkan warga sekitar untuk minum dan keperluan lainnya. Meski musim kemarau tiba, airnya tidak pernah berhenti mengalir. Uniknya, banyak umat yang percaya kalau sumur ini dapat memberikan keberuntungan bagi siapa saja yang meminumnya. Saya ingin sekali mencobanya, sayang saya tidak mengerti bagaimana tata cara sembahyang umat Buddha.

Keajaiban lain yang pernah terjadi di Vihara Boen San Bio adalah adanya bola api yang melayang-layang sekitar 1995-an. Dulu, Ruang Dhammasala merupakan sebuah gudang. Tak disangka, beberapa orang pernah melihat penampakan seekor ular besar berwarna putih. Sebelum gudang itu hendak direnovasi, para pengurus vihara mengadakan upacara sembahyang untuk mengusir si “penunggu”. Cuaca hari itu cerah. Namun, tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar.... DHUUUARRR!!!

Mistisnya, seketika petir itu berubah menjadi bola api yang terbang ke sana kemari, memasukki ruang-ruang suci vihara, lalu keluar lagi. Bahkan, bola api itu membelah sebuah pohon menjadi dua. Singkat cerita, petir itu dipercaya merupakan kiriman dari Kong Co untuk mengusir si ular putih agar tak mengganggu lagi.

Di sudut lain, ada makam Mbah Raden Surja Kentjana di dalam vihara ini. Dulunya, ia adalah bangsawan dari Kerajaan Banten. Makamnya yang semula berada di dekat Sungai Cisadane, kini dipindahkan ke Vihara Boen San Bio guna dirawat. Tak heran, banyak umat –terutama umat Muslim- yang datang untuk berziarah. Itulah mengapa tempat suci ini sering disebut klenteng kepercayaan.

Tak hanya sekadar untuk bersembahyang atau berwisata, lebih dari itu, kita bisa mengetahui bagaimana ajaran-ajaran baik Sang Buddha. Ajaran-Nya dipercaya dapat menjadi arahan bagi manusia menuju perdamaian dunia dengan semboyan suci, yakni cinta kasih dan kasih sayang. Ajaran yang universal ini juga mengenalkan kita pada hukum karma.

“Sesuai dengan benih yang ditanam, itulah buah yang akan Anda peroleh. Perilaku kebaikan akan menuai kebaikan. Pelaku keburukan, memperoleh keburukan. Jika Anda menanamkan benih yang baik, maka Anda akan menikmati buah yang baik pula.”

– Samyutta Nikaya Vol. I, P.227.



Sabda sang Buddha senantiasa mengingatkan kita agar dapat melakukan perbuatan mulia, contohnya dengan memberikan sumbangan dalam rangka aksi sosial. Vihara Boen San Bio sendiri pun pernah melakukan bakti sosial dengan membagikan beras dan sembako untuk warga sekitar yang membutuhkan.

Tidak ada salahnya bukan kalau kita berkunjung ke Vihara Boen San Bio sambil berdoa, berwisata, dan berbuat baik?

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.
Sadhu! Sadhu! Sadhu!




Oleh Sintia Astarina - 11140110048
Tugas Mata Kuliah Penulisan Feature
www.sintia-astarina.blogspot.com

No comments:

Post a Comment