Wednesday, June 12, 2013

Demi Bertahan Hidup

Sambil membawa kantong plastik berwarna kuning dan berwarna merah ,yang berisikan botol-botol plastik yang sudah tidak layak pakai, Masturo berjalan di sekitar perumahan sektor 1B, Gading Serpong. Melewati setiap rumah-rumah yang beratap merah dan juga seorang laki-laki yang sedang mencuci mobil. Sekali-kali, perempuan berusia 60 tahun itu, membuka tempat sampah di setiap rumah, mencari-cari barang bekas yang bisa menjadi penghasilannya.
“Kalau botol plastik kayak gini, satu kilonya dapat seribu rupiah,” katanya sambil menunjukka botol plastik yang sudah pipih kepada saya. “Seminggu baru dapat sepuluh ribu rupiah,” lanjutnya lagi. Memungut barang bekas, menjadi satu-satunya jalan baginya untuk menambah uang. Ketiga anaknya sudah besar. Dua orang menjadi kuli bangunan dan seorang lagi menjadi tukang ojek. Namun, ketiga anaknya pun tidak bisa membantu banyak. Mereka hanya bisa menghidupi keluarganya sendiri, sedangkan suami Masturo sudah meninggal dua setengah tahun yang lalu.
 Walaupun ia juga bekerja sebagai tukang cuci-gosok, penghasilan yang ia dapat masih kurang untuk membiayai hidupnya terutama masalah listrik rumahnya. “Yah, saya sih malu sebenarnya kalau “mungut”, tapi gimana lagi,” kata perempuan yang menggunakan baju dengan motif bunga-bunga berwarna merah itu ketika diwawancara.
Rasa malu ini juga ikut dirasakan oleh Cicih. “Malu juga dilihat orang banyak, tapi kalau nggak, yah, nggak bisa makan nanti,” katanya. Perempuan yang berusia 55 tahun ini, juga bekerja sebagai tukang cuci-gosok di dua rumah, satu di sektor 1A dan satu lagi di sektor 1B. Ia mulai mengumpulkan barang bekas semenjak kaki suaminya tersambar petir sehingga butuh waktu tiga bulan untuk sembuh.
Selain mengumpulkan botol bekas atau kardus, Cicih juga mengumpulkan bunga kering. “Kalau basah cuman sepuluh ribu saja satu kilo, kalau bunga kering bisa sembilan puluh ribu satu kilo,” tuturnya. Hal ini menyebabkan banyaknya pemungut barang bekas mencari bunga untuk dikeringkan yang biasanya adalah bunga kamboja. “Kalau pagi, biasanya di kuburan pasti ramai. Apalagi habis hujan atau angin besar, wah, rebutan pasti,” kata perempuan berkulit sawo matang itu sambil tertawa. Namun, tetap saja ia lebih memilih bekerja di rumah, mengingat kaki kanannya yang terkena rematik. “Saya juga mau kerja di rumah. Dagang gitu. Tapi, saya tidak punya modal,” ujarnya.
Jumlah penduduk miskin di Banten pada bulan Sepetember 2012 sebesar 648.254 orang atau sebesar 5, 71%. Di Tangerang sendiri, kemiskinan setiap tahunnya naik 5%. Tentu saja, hal ini berdampak pada masalah-masalah yang lain. Di masalah kesehatan misalnya. Untuk harga kamar di rumah sakit kelas III di Tangerang, harga paling murah adalah Rp 43.000,- per harinya. “Waktu kaki suami saya tersambar petir, saya sampai jual rumah untuk biaya,” kata Cicih. Suaminya akhirnya hanya menetap di rumah sakit selama seminggu, kemudian pulang ke rumah.
Selain kesehatan, pendidikan juga bisa menjadi masalah karena adanya kemiskinan. “Hanya anak pertama yang sampai kelas empat SD, sisanya tidak sekolah,” kata Masturo. Inilah yang membuat anaknya akhirnya bekerja sebagai buruh dan tukang ojek. Lain halnya dengan Cicih, dari empat orang anak, dua orangnya tidak memiliki pekerjaan yang tetap. “ Bisa dapat dua puluh ribu aja sehari sudah bagus,” katanya. Untuk Tangerang Selatan, jumlah penggangguran pada tahun 2010 mencapai 50.132 jiwa walaupun wilayah Tangerang Selatan berada pada peringkat keenam penggangguran terbanyak dari delapan wilayah yang di survei di Banten.
Selain masalah-masalah yang berhubungan dengan uang, masalah sosial juga dialami oleh orang-orang yang dikategorikan miskin. Cicih pernah tidak dibayar atas uang yang seharusnya menjadi haknya. “Masa seratus ribu saja tidak punya, padahal saya kan dibayar per minggu,” kata istri dari Cui ini. “Tuh, uang kamu!” Ujarnya sambil memperagakan gaya majikannya ketika membentak dirinya. “Habis itu, uangnya di lempar ke lantai,” lanjutnya lagi.
Bahkan oleh majikan yang sama, Cicih pernah diancam dilaporkan ke polisi karena selalu bertanya mengenai gajinya yang belum dibayar. “Lah, itu kan uang saya. Kalau nggak, saya makan apa? Mending kalau dikasih makan di rumahnya,” kata perempuan yang menggunakan baju berwarna ungu itu ketika diwawancara. Untungnya, Cicih tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar secara fisik oleh majikannya. Banyak kasus kekerasan terhadap orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap “rendah” oleh masyarakat. Misal, kasus penyiksaan terhadap buruh kuali yang terjadi di Kampung Bayur Ropak, Tangerang. Dua di antara sembilang buruh tersebut menderita cacat akibat pukulan dan siraman air keras, seperti dilansir di news.okezone.com.
Cicih ingin sekali keluar dari tempat kerjanya itu, tetapi ia belum menemukan tempat lain. Sedangkan, ia harus tetap mencari uang, maka dari itu ia mulai memungut barang bekas untuk dijual kembali. “Yah, habis gimana. Saya sudah nunggak listrik selama dua bulan, makanya harus dibayar, kalau nggak dicabut nanti,” kata perempuan yang tinggal di Rumpak Sinang ini.
Sehari-harinya setiap selesai dari pekerjaan tetapnya, Masturo dan Cicih akan mencari-cari barang di sekitar kompleks perumahan dan pulang dengan jalan kaki. “Habis, naik ojek aja, bayar sepuluh ribu, kan sayang,” kata Masturo. Bagi Masturo, selagi kakinya kuat, ia tidak akan masalah dengan berjalan kaki walaupun perempuan yang menggunakan kain hitam sebagai penutup kepalanya ini, tidak memungkiri kelelahan yang dirasakannya karena jarak dari kompleks perumahan sampai di Pakulonan.
Cicih juga merasa kelelahan, apalagi ditambah dengan kaki kanannya yang sakit sehingga terkadang ia harus berjalan pelan-pelan. Di pagi hari, ia juga tidak makan karena tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak. “Minum teh saja,” tuturnya singkat. Ia terkadang merasa pusing, tapi ia tetap menjalani pekerjaannya.
Namun terkadang ada saja orang yang memberikan uang kepada Cicih dan Masturo. Mereka berdua selalu mensyukuri apa yang mereka dapat. “Alhamdulilah, dikasih sepuluh ribu atau dua puluh ribu,” kata Masturo. Mereka berdua pun sebenarnya tidak pernah mengharapkan hal itu, tetapi mereka selalu berterima kasih atas kebaikan orang lain yang mau membantu mereka. “Saya sih cuman bisa doain aja, supaya orang itu makin sehat, tambah rezeki,” kata Cicih. Cicih pun membawa dua plastik, masing-masing satu di kedua tangannya. Ia pun berjalan keluar dari rumah kosong yang berpagar hitam dan berkarat itu, sambil sekali-kali berhenti sejenak. Membawa botol-botol plastik dan bunga kamboja yang sudah berwarna coklat untuk tambahan uang demi bertahan hidup. (Zerica Estefania Surya/ 11140110026/ C)

No comments:

Post a Comment