Sambil membawa
kantong plastik berwarna kuning dan berwarna merah ,yang berisikan botol-botol
plastik yang sudah tidak layak pakai, Masturo berjalan di sekitar perumahan
sektor 1B, Gading Serpong. Melewati setiap rumah-rumah yang beratap merah dan
juga seorang laki-laki yang sedang mencuci mobil. Sekali-kali, perempuan
berusia 60 tahun itu, membuka tempat sampah di setiap rumah, mencari-cari
barang bekas yang bisa menjadi penghasilannya.
“Kalau botol
plastik kayak gini, satu kilonya dapat seribu rupiah,” katanya sambil
menunjukka botol plastik yang sudah pipih kepada saya. “Seminggu baru dapat
sepuluh ribu rupiah,” lanjutnya lagi. Memungut barang bekas, menjadi
satu-satunya jalan baginya untuk menambah uang. Ketiga anaknya sudah besar. Dua
orang menjadi kuli bangunan dan seorang lagi menjadi tukang ojek. Namun, ketiga
anaknya pun tidak bisa membantu banyak. Mereka hanya bisa menghidupi
keluarganya sendiri, sedangkan suami Masturo sudah meninggal dua setengah tahun
yang lalu.
Walaupun ia juga bekerja sebagai tukang
cuci-gosok, penghasilan yang ia dapat masih kurang untuk membiayai hidupnya
terutama masalah listrik rumahnya. “Yah, saya sih malu sebenarnya kalau
“mungut”, tapi gimana lagi,” kata perempuan yang menggunakan baju dengan motif
bunga-bunga berwarna merah itu ketika diwawancara.
Rasa malu ini
juga ikut dirasakan oleh Cicih. “Malu juga dilihat orang banyak, tapi kalau
nggak, yah, nggak bisa makan nanti,” katanya. Perempuan yang berusia 55 tahun
ini, juga bekerja sebagai tukang cuci-gosok di dua rumah, satu di sektor 1A dan
satu lagi di sektor 1B. Ia mulai mengumpulkan barang bekas semenjak kaki
suaminya tersambar petir sehingga butuh waktu tiga bulan untuk sembuh.
Selain
mengumpulkan botol bekas atau kardus, Cicih juga mengumpulkan bunga kering.
“Kalau basah cuman sepuluh ribu saja satu kilo, kalau bunga kering bisa
sembilan puluh ribu satu kilo,” tuturnya. Hal ini menyebabkan banyaknya
pemungut barang bekas mencari bunga untuk dikeringkan yang biasanya adalah
bunga kamboja. “Kalau pagi, biasanya di kuburan pasti ramai. Apalagi habis
hujan atau angin besar, wah, rebutan pasti,” kata perempuan berkulit sawo
matang itu sambil tertawa. Namun, tetap saja ia lebih memilih bekerja di rumah,
mengingat kaki kanannya yang terkena rematik. “Saya juga mau kerja di rumah.
Dagang gitu. Tapi, saya tidak punya modal,” ujarnya.
Jumlah penduduk
miskin di Banten pada bulan Sepetember 2012 sebesar 648.254 orang atau sebesar
5, 71%. Di Tangerang sendiri, kemiskinan setiap tahunnya naik 5%. Tentu saja, hal
ini berdampak pada masalah-masalah yang lain. Di masalah kesehatan misalnya.
Untuk harga kamar di rumah sakit kelas III di Tangerang, harga paling murah
adalah Rp 43.000,- per harinya. “Waktu kaki suami saya tersambar petir, saya
sampai jual rumah untuk biaya,” kata Cicih. Suaminya akhirnya hanya menetap di
rumah sakit selama seminggu, kemudian pulang ke rumah.
Selain
kesehatan, pendidikan juga bisa menjadi masalah karena adanya kemiskinan.
“Hanya anak pertama yang sampai kelas empat SD, sisanya tidak sekolah,” kata
Masturo. Inilah yang membuat anaknya akhirnya bekerja sebagai buruh dan tukang
ojek. Lain halnya dengan Cicih, dari empat orang anak, dua orangnya tidak
memiliki pekerjaan yang tetap. “ Bisa dapat dua puluh ribu aja sehari sudah
bagus,” katanya. Untuk Tangerang Selatan, jumlah penggangguran pada tahun 2010
mencapai 50.132 jiwa walaupun wilayah Tangerang Selatan berada pada peringkat
keenam penggangguran terbanyak dari delapan wilayah yang di survei di Banten.
Selain
masalah-masalah yang berhubungan dengan uang, masalah sosial juga dialami oleh
orang-orang yang dikategorikan miskin. Cicih pernah tidak dibayar atas uang
yang seharusnya menjadi haknya. “Masa seratus ribu saja tidak punya, padahal
saya kan dibayar per minggu,” kata istri dari Cui ini. “Tuh, uang kamu!”
Ujarnya sambil memperagakan gaya majikannya ketika membentak dirinya. “Habis
itu, uangnya di lempar ke lantai,” lanjutnya lagi.
Bahkan oleh
majikan yang sama, Cicih pernah diancam dilaporkan ke polisi karena selalu
bertanya mengenai gajinya yang belum dibayar. “Lah, itu kan uang saya. Kalau
nggak, saya makan apa? Mending kalau dikasih makan di rumahnya,” kata perempuan
yang menggunakan baju berwarna ungu itu ketika diwawancara. Untungnya, Cicih
tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar secara fisik oleh majikannya. Banyak
kasus kekerasan terhadap orang-orang yang memiliki pekerjaan yang dianggap
“rendah” oleh masyarakat. Misal, kasus penyiksaan terhadap buruh kuali yang
terjadi di Kampung Bayur Ropak, Tangerang. Dua di antara sembilang buruh
tersebut menderita cacat akibat pukulan dan siraman air keras, seperti dilansir
di news.okezone.com.
Cicih ingin
sekali keluar dari tempat kerjanya itu, tetapi ia belum menemukan tempat lain.
Sedangkan, ia harus tetap mencari uang, maka dari itu ia mulai memungut barang
bekas untuk dijual kembali. “Yah, habis gimana. Saya sudah nunggak listrik
selama dua bulan, makanya harus dibayar, kalau nggak dicabut nanti,” kata
perempuan yang tinggal di Rumpak Sinang ini.
Sehari-harinya
setiap selesai dari pekerjaan tetapnya, Masturo dan Cicih akan mencari-cari
barang di sekitar kompleks perumahan dan pulang dengan jalan kaki. “Habis, naik
ojek aja, bayar sepuluh ribu, kan sayang,” kata Masturo. Bagi Masturo, selagi
kakinya kuat, ia tidak akan masalah dengan berjalan kaki walaupun perempuan
yang menggunakan kain hitam sebagai penutup kepalanya ini, tidak memungkiri
kelelahan yang dirasakannya karena jarak dari kompleks perumahan sampai di
Pakulonan.
Cicih juga
merasa kelelahan, apalagi ditambah dengan kaki kanannya yang sakit sehingga
terkadang ia harus berjalan pelan-pelan. Di pagi hari, ia juga tidak makan
karena tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak. “Minum teh saja,” tuturnya
singkat. Ia terkadang merasa pusing, tapi ia tetap menjalani pekerjaannya.
Namun terkadang
ada saja orang yang memberikan uang kepada Cicih dan Masturo. Mereka berdua
selalu mensyukuri apa yang mereka dapat. “Alhamdulilah,
dikasih sepuluh ribu atau dua puluh ribu,” kata Masturo. Mereka berdua pun
sebenarnya tidak pernah mengharapkan hal itu, tetapi mereka selalu berterima
kasih atas kebaikan orang lain yang mau membantu mereka. “Saya sih cuman bisa
doain aja, supaya orang itu makin sehat, tambah rezeki,” kata Cicih. Cicih pun
membawa dua plastik, masing-masing satu di kedua tangannya. Ia pun berjalan
keluar dari rumah kosong yang berpagar hitam dan berkarat itu, sambil
sekali-kali berhenti sejenak. Membawa botol-botol plastik dan bunga kamboja
yang sudah berwarna coklat untuk tambahan uang demi bertahan hidup. (Zerica
Estefania Surya/ 11140110026/ C)
No comments:
Post a Comment