Wednesday, June 12, 2013

Jose Vide: Sepak Bola, Hidup Saya

“Booo...! Mereka berteriak, mengganggap remeh kami. Tapi, di lain sisi ada suara “Tauras! Tauras”. Kamu bisa mendengar suara terompet yang sangat kencang. Rasanya luar biasa,”, ujar laki-laki keturunan Portugis tersebut. Hari itu, 22 Juli 2010. Di New GSP Stadium, Cyprus, Yunani, FK Tauras Taurage bertemu dengan APOEL Nicosia untuk kualifikasi Liga Eropa. Jose Vide yang menggunakan nomor punggung 16, tidak bisa berhenti untuk menatap setiap penonton yang bersorak-sorai, mendukung tim favorit mereka.
“Sekitar tiga puluh ribu orang memenuhi stadion. Saya sempat tegang ketika berada di lapangan,” ujarnya. Saat itu, ia menggunakan seragam berwarna merah dengan garis hitam sebagai salah satu pemain tengah FK Tauras Taurage. “Bagi saya yang berkesan tidak hanya bermain untuk kualifikasi, namun bagaimana antusias penonton. Jujur kami kalah, tapi saya tidak pernah ditonton banyak orang sebelumnya,” kata laki-laki yang menggunakan baju berwarna merah muda ketika diwawancara sambil tertawa.
Jose Vide adalah anak ke lima dari pasangan Carlos Lopes Vide dan Petrolina Margarida Correia. Sejak umur sembilan tahun, Jose sudah mulai serius untuk menjadi seorang pemain bola. Walaupun ia lahir di Dili, Timor Leste, namun ia mulai mengikuti sekolah bola di Lisbon, Portugal. “ Banyak orang yang bilang saya bisa membuat trik-trik yang sulit dilakukan pemain bola pada umumnya. Hal itulah yang menjadi motivasi saya,” ujar laki-laki berkulit sawo matang tersebut.
Real Sport Clube menjadi klub di mana laki-laki yang memiliki seorang anak perempuan bernama Crystal ini, bermain. Jose mendapatkan perhatian dari pelatihnya, Jose Goncalves. “Untuk bisa bermain dengan angkatan di atasmu, membutuhkan kemampuan yang baik. Kalau tidak pelatih tidak mungkin mengizinkanmu,” jelasnya. Karena kesempatan yang diberikan oleh pelatihnya inilah, maka Jose bisa bermain dengan anak-anak yang lebih tua dan salah satunya adalah Luis Carlos Almaeida da Cunha atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nani.
Awalnya ibunya tidak mengizinkannya untuk bermain bola. Inilah yang membuat laki-laki yang suka jogging ini bolos kelas. Hal ini juga dibenarkan oleh kakaknya, Joaquim Lopes Vide. “Suatu hari pelatihnya datang ke rumah kami karena tahu Jose absen latihan,” kata laki-laki yang memiliki rambut pendek berombak ini. “Ibu kami ingin dia seperti anak pada umunya dan waktu itu ibu kami tidak punya uang untuk membayar bis kalau Jose pulang setiap malam,” lanjutnya lagi. Akhirnya, sang pelatih pun setuju untuk membiayai keperluan Jose karena melihat talenta yang ada pada dirinya.
Di dalam klub ini juga, Jose pernah diberikan kartu merah. Pertandingan Real Sport Clube melawan FC Alverca menjadi salah satu kejadian yang tidak bisa ia lupakan. Skor pada saat itu 1-0 untuk Alverca, Jose pun mulai berlari-lari di sekitar tempat duduk untuk mempersiapkan masuk ke babak ke dua. Di babak kedua, ada salah satu gelandang berkali-kali menendangnya. “Wasit saat itu melihatnya, tapi anehnya tidak memberikan kartu kuning,” tuturnya. Satu waktu, gelandang ini menendangnya hingga ia jatuh tersungkur di tanah. Telapak tangan kirinya yang belum diangkatnya, diinjak dengan menggunakan sepatu bola. Tidak cukup dengan itu, sang gelandang juga membuang ludah di dekat kepalanya yang masih berada di tanah.
“Saat itu juga seperti ada bunyi ‘trikk’ di kepala saya dan saya sudah tidak peduli lagi dengan pertandingan” kata laki-laki yang lahir di tahun 1987 ini. Ia berdiri dan dengan tangan kanannya memukul wajah si gelandang sampai gelandang itu jatuh. Ia pun juga mengambil sepatu bolanya dan memukul bahu anak itu yang juga sudah jatuh di tanah, terus menerus. Akhirnya, wasit pun datang dan “menghadiahinya” kartu merah. Saat ia keluar dari lapangan, Jose Goncalves, sang pelatih hanya menatapnya datar. “Kita akan bicarakan hari Senin,” ujar Jose meniru apa yang dikatakan pelatihnya itu.
Setelah kejadian itu, Jose pun dihukum selama satu bulan untuk tidak bermain bola. Ia hanya diminta untuk lari di lapangan selama satu jam tiga puluh menit. Ia hanya bisa melihat teman-temannya bermain bola dan ia merasa frustasi saat itu. “Itu hukuman yang berat buat saya. Saya mengerti apa yang ingin disampaikan Pak Jose. Setelah itu, saya selalu berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu,” katanya.
Di umur 17 tahun, ia dan keluarganya pun pergi ke London karena melihat situasi yang lebih baik di Inggris daripada Portugal, mengingat ibunya yang sudah berlanjut umur. Ia sempat bermain bola, namun di sana, laki-laki yang berzodiak Aquarius ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dan bersekolah. “Saya pernah bekerja di bar dan rumah makan. Di sana, mereka membayarmu per jam,” tutur laki-laki yang lahir pada tanggal 4 Februari tersebut.
Walaupun begitu, menjadi seorang pemain bola sudah menjadi impiannya sejak kecil, ia pun mencoba peruntungannya ke Lituania dan akhirnya menjadi pemain FK Tauras Taurage. Klub dengan lambang banteng hitam ini adalah klub yang ada di Lituania yang tepatnya berasal dari kota Taurage. Klub ini juga bermain pada divisi utama atau yang disebut dengan A Lyga di Lituania. Namun, Jose merasa kurang cocok untuk bermain di klub yang seragamnya dominan dengan warna merah dan hitam ini. “Kami sempat tidak lolos kulaifikasi Liga Eropa, sehingga klub tidak mendapatkan uang dan mereka mulai memotong gaji kami,” katanya. “Selain itu, cuaca di sana sangat dingin dan saya tinggal di kota kecil yang sedikit berbahaya,” lanjutnya lagi.
Dari situlah, Jose mencoba lagi peruntungannya di Indonesia. “Saya hanya iseng mengirim pesan ke Eddy apakah ia bisa mencari tim untuk Jose. Ternyata, ia menyuruhnya datang ke Indonesia,” kata Joaquim. Eddy Syah adalah salah satu agen pemain bola di Indonesia. Joaquim mengenal Eddy dari kakak iparnya yang tinggal di Indonesia, Benny Surya.
Masuk di Indonesia, Jose mulai bergabung dengan tim PSSB Biereun. Klub ini terletak di Biereun, Aceh dan bermain dalam divisi utama. Dengan pelatih, Simon Elissetche yang berasal dari Chili waktu itu, Jose mulai mencoba bermain sepak bola di Indonesia. Untuk laki-laki yang punya dua adik perempuan ini, bermain sepak bola di Indonesia memiliki banyak perbedaan. “Saya melihat banyak hal yang belum pernah saya lihat sebelumnya,” ujarnya. Makanan yang pedas menjadi salah satu perbedaan besar dengan makanan di Eropa, sehingga baginya yang tidak suka dengan makanan pedas, agak sulit untuk beradapatasi. “Pada pukul enam pagi, mereka menyediakan nasi dan ayam goreng sebelum latihan, jujur itu makanan yang berat di pagi hari,” tuturnya.
“Selain itu juga ada perbedaan besar sepak bola di Eropa dengan di Indonesia,” katanya lagi. Simon, sebagai pelatihnya sangat membantu dirinya dalam beradapatasi, mulai dari makanan sampai berinteraksi dengan orang-orang sekitar. “Dia sangat membantu saya. Untung dia bisa sedikit berbahasa Spanyol, sehingga tidak terlalu berbeda jauh dengan Portugis,” kata laki-laki yang menyukai lagu hip hop dan kizomba ini.
Satu hal yang menurut Jose menyenangkan ketika bergabung dengan klub yang sudah ada sejak tahun 1970 ini adalah para pemain dari klub itu sendiri. “Rata-rata pemain berasal dari Paraguay sehingga mereka juga bisa bahasa Spanyol, tapi yang saya lihat tidak hanya itu,”ujarnya. Para pemain di Bireun mengerti apa yang dirasakan Jose selaku seorang pemain asing yang datang dari luar, meninggalkan kota kelahiran dan keluarganya, karena mereka semua pun mengalami hal yang sama. Hal itulah yang dilihat Jose.
Pengalaman tidak digaji oleh klub ini pernah dirasakan oleh Jose. Hal ini termasuk hal yang baru baginya karena sebelumnya tidak demikian di Eropa. “Mereka baru membayar gaji saya setelah dua bulan. Padahal bagaimanapun juga ini adalah pekerjaan saya. Saya harus digaji,” ujarnya. Kasus pemain asing yang tidak digaji di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru. Sebut saja kasus Moukwelle Ebanga Sylvian. Seperti dilansir dari  tempo.co.id, pemain asal Perancis ini tidak digaji selama sembilan bulan dan menyayangkan sikap manajemen dari Persewangi, klub di mana ia bergabung.
Kasus lainnya seperti yang dialami Sylla Mbamba, Salomon Begondo dan Camara Abdoulaye. Ketiga pemain Afrika ini harus mengemis di jalan untuk menyambung hidupnya karena hanya mendapatkan lima belas persen dari nilai kontrak. Pemain asing dari klub Persipro ini memilih untuk meminta-minta di jalanan, sekitar kota Probolinggo.
Kasus yang lebih fatal lagi adalah kasus pemain asing Persis Solo, Diego Mendieta. Seperti dikutip dari okezone.com, Diego yang meninggal dunia karena sakit, mengalami kesulitan ekonomi karena gaji sebesar seratus juta rupiah belum dibayar oleh klubnya tersebut. Jose sempat membaca berita tersebut dan sangat menyayangkan apa yang dilakukan klub Persis Solo. “Mereka sudah melampaui batas. Bagaimana rasanya menjadi keluarganya? Ini sangat menyedihkan dan tidak adil,” kata laki-laki yang mempunyai postur tinggi 175 cm ini.
Keluar dari PSSB Bireun, Joaquim mengajak adiknya tersebut untuk bergabung dengan tim nasional Timor Leste. “Walaupun saya lebih banyak main di Eropa, tapi bagaimanapun juga saya lahir di sana,” tuturnya. Ia pun sempat mengikuti salah satu ajang sepak bola yang negaranya tergabung dalam ASEAN dan dilakukan setiap tahunnya yaitu  AFF Suzuki Cup. “Menjadi pemain tim nasional merupakan pengalaman yang membanggakan karena kita bermain mewakili negara kita,” katanya.
Hal yang sama juga disampaikan Jesse Pinto, kapten dari tim nasional Timor Leste. “Saya bermain waktu Suzuki Cup, sayangnya kita tidak menang,” kata Jesse. Pemain dengan nomor punggung 10 itu mengakui Jose adalah salah satu pemain yang baik. “Dia orang yang sangat bersemangat. Saya suka kepribadiannya. Dia bisa berbicara kepada siapa saja di Timor,” katanya. “Sebagai pemain bola, dia orang yang disiplin. Tidak harus disuruh untuk latihan dan dia bisa bermain sebagai pemain tengah atau di sayap kanan dan kiri,” lanjutnya lagi.
Selesai dari Suzuki Cup, Jose masih berjuang mencari klub reguler. “Saya mencoba Persidafon, Papua. Awalnya semua baik. Manajer mengatakan besok akan mengurus kontrak, tapi ternyata yang terjadi sebaliknya,” kata laki-laki yang memiliki seorang kakak perempuan ini. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun manajer klub yang dibentuk pada tahun 1970 ini menyuruhnya untuk pulang kembali ke Jakarta.
“Setelah dari Persidafon, saya mencoba Persija IPL. Saya juga kaget karena ada dua liga di Indonesia, IPL dan ISL,” katanya sambil tertawa. Indonesia Premier League atau IPL adalah kompetisi tertinggi dalam sepak bola Indonesia sejak tahun 2011 mengalahkan ISL atau Indonesia Super League. Dalam IPL, hak siar, tiket dan lain-lain masuk ke PSSI atau Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia. Lain halnya dengan ISL yang setiap klubnya mencari sponsor sendiri sehingga hasil yang didapat tidak masuk ke PSSI.
 Seperti dilansir dari boromania.net, klub-klub besar dan sudah berdiri sejak lama tetap menjadi perhatian karena sudah memiliki sponsor sendiri, sehingga IPL yang baru berdiri memunculkan aturan untuk menggabungkan tim IPL dan ISL sehingga terciptalah dualisme, seperti Persija (Jakarta FC ) dan Persija Paulus. “Aneh, tapi itu yang terjadi di Indonesia,” kata Jose.
“Ya! Bagus! Sekarang ambil bolanya dan kembali ke posisi semula,” kata Jose kepada Rofin, yang menggunakan kaus putih. Di dalam Futsal Salon, Gading Serpong, Jose yang menggunakan baju biru tua dan celana pendek hitam di hari Jumat itu, mengajari tujuh orang anak teknik dasar bermain bola. Bryan, anak yang menggunakan baju hitam itu, mulai menggelinding bola dan meloncati sebuah cone yang berbentuk mangkuk berwarna putih satu per satu. Setelah selesai bola itu digiringnya sedikit ke kanan dan dengan kaki kanannya, ia menendang bola ke arah gawang.
“Saya tidak terlalu banyak berharap dengan klub Indonesia sekarang. Bagaimanapun juga saya harus bisa menghasilkan uang untuk visa saya,” ujar Jose. Karena ia pernah mengajari anak-anak di lingkungan sekitar sektor 1B Gading Serpong, ada beberapa anak yang antusias untuk belajar lebih dalam tentang sepak bola. Dari situlah, ia mengeluarkan sekolah bola “Estrella” yang dalam bahasa Portugis adalah bintang. “Minimal saya ada uang. Kalau nantinya ada kesempatan untuk bermain bola lagi, tentu saya akan senang sekali,” lanjutnya lagi.
Jesse sebagai temannya sangat berharap Jose bisa bermain bola di sebuah klub yang baik. “Saya dengar dia tertarik dengan sebuah klub di Thailand. Saya selalu berharap yang terbaik untuknya,” kata laki-laki yang besar di Australia ini. “Semoga saja di bisa bermain lagi dan kita bisa bertemu dan bermain bersama lagi di tim nasional,” katanya sambil tertawa.

Zerica Estefania Surya/ 11140110026





No comments:

Post a Comment